Selamat Datang di Kampung Maya Si Gadis Ceria

Setapak perjalanan

Setapak perjalanan
Pelik...
Terjal...
Tinggi...

Bagaimana aku harus menggambarkannya
Semua semakin tidak berarti
Lebih baik memang kembali
Tak perlu mengerti yang terjadi
Hanya biarkan sang diri menjadi diri
Melepuh dan terkoyak dengan yang berhak

Sebenarnya semuanya begitu indah
sebenarnya semuanya begitu mudah
Sebenarnya semuanya begitu terbuka

Hanya saat kau sadari bahwa semuanya adalah FANA
hanya Dia yang ADA
[regards]

----------
* Saat perjalanan itu semakin membuatku tak mengerti akan diriku
Hanya ada satu yang bisa membantuku...Dia (Rabb; Sang Kekasih sejati)

Lagi-lagi menyebalkan

11.30

sekarang aku lagi ngantri di salah satu tempat yang paling menyebalkan d Cairo ini:
*JAWAZAT*,selain su'un thulab-tempat ngantri buku & tashdiq-tentunya.

Ah,tapi ya sudahlah. Sepertinya KESABARAN memang harus menjadi sahabat terbaikku kini.Di negeri orang,emang bisa ngapain? Selain mengeluh,nggerundel,teriak-teriak,yang atsarnya ada ato nggak aja ga bisa di pastikan:(
tapi sekali lagi...Ya sudahlah.
Bismillah aja,pastinya HIKMAH sedang menunggu di blik sana,ya ga?:)

Hmm...Tapi lumayanlah, aku masih bisa ng'blog untuk sekedar mengurangi rasa penat yang memang kelihatan enggan untuk menghilang. Baru habis beberapa lembar muqoror, otak serasa nggak loading lagi:(
fiuhh, whatever...Its life;)

Oh iya,kok aku jadi inget obrolanku bareng temen serumahku, semalem ya!
Beberapa saat setelah acara oel-tah sederhana si Najdah,adek kelasku.

Topik sederhana tentang satu hal yang kita rasakan selama ini.
*KEBERSAMAAN*

Di rumah, aku merasa kebersamaan itu begitu terasa. Bukan lagi sebagai teman yang solid. Lebih dari itu, aku merasa kita ber-7 adalah saudara.

Bertujuh dalam satu bangunan yang bernama rumah. Bernuansa ungu dengan dua kamar,satu ruang tamu yang cukup luas untuk ukuran mahasiswa, satu kamar mandi dan satu dapur. "hah? Tujuh orang cuma dua kamar?", respon yang sering kudapat saat ceritaku sampa di telinga mereka. "ga sumpek tuh mit?", komentar susulan yang kerap mereka lontarkan. Dan satu jawabanku...Senyum:)

Memang sih, di banding beberapa rumah yang pernah aku singgahi sebagai taman untukku berteduh di bumi kinanah ini, rumah ini menempati posisi pertama sebagai rumah t'sumpek:D. Rumah dengan personil terbanyak dan jumlah kamar tersedikit. I thougt it would be hard to me, at that time:(.

But the real isn't like that
to be continue
(Mood nulisnya dah habis, nunggu petugas jawazat kelamaan)

Uffh...Tau nggak pa yg terjadi ma aku sekarang??

Hmm...Do you know that i'm so BORED now!!

Lagi nungguin tashdiq euy...HUAHUAHUA...Nyebelin.
Jadi ga mood mau masuk mukhadharah ketiga {hayyah..Bilang ja emang males dari awal:P}

Setor data jam 9,ngambilnya jam 1,pake acara molor lagi si Ablah,wekz
Mesir..Mesir:(

capek deh!!

Semburat wajah kekasih

Semburat wajah sang kekasih
Ada, meski tak nampak
Indahnya terasa, meski samar
Sejuknya merajukku, dan aku pun teráyu oleh-Nya

Sentuhan-Nya melumpuhkanku
Lidahku kelu saat mengucap asma-Nya
Aku tebujur kaku oleh cinta-Nya
Yang selalu ingin ku raih

Namun kenapa penghalang itu begitu besar

Aku tahu engkau juga mencintaiku
Bahkan cinta-Mu lebih besar dari cintaku
Namun kau juga mengirimkan banyak hal
Yang sering membuatku telupa oleh-Mu
Kenapa kekasihku?

Terlalu naifkah jika hal itu ku pertanyakan?
Maaf kekasihku
Maaf…

Aku begini karena aku dhaif
Masih saja ku biarkan selain-Mu mengisi ruang ini
Ruang, yang seharusnya adalah milik-Mu
Hanya milik-Mu
Dan sayang sekali
Seringkali lakuku mengamininya

Ah dasar nafsu
Selalu saja ikut campur dalam urusan percintaanku
Dia membuat cintaku tak sebening milik-Nya

Kesempurnaan tak berarti

Apa arti sebuah kesempurnaan?

Aku ingin dia tak berarti apa-apa
Aku ingin dia tak berarti bagi siapa saja
Aku ingin dia tak berprestise

Bosan dengan kata sempurna itu
Siapa saja menginginkannya
Dan selalu berusaha menjadinya
Namun semua seakan kotor

Sempurna penuh tendensi
Sempurna tak sepenuh hati
Sempurna tak benar-benar sempurna
Sempurna tanpa arti

Lalu, bukankah lebih baik sempurna itu tak berarti???

Bukankah saat merasa kurang, itulah sempurna
Saat merasa tak sempurna, itulah sempurna

Ah, bosan!

El_Funny
Kairo 210808
10:25

Baik bukan berarti "yang terbaik"

Baik bukan berarti “yang terbaik”
14.56


Dimana-mana, orang selalu berusaha mencari sesuatu yang baik, lalu menganggap semua itu lah yang terbaik baginya.

Berusaha mencari, mengejar dan memiliki “baik”itu. Kekurangan menjadi satu hal yang terdiskreditkan. Sama sekali tidak terakui eksistensinya. Atau kalaupun ada, hampir tak ada yang bersedia menyentuhnya. Yah, itulah manusia, makhluk Tuhan yang berpotensi menjadi makhluk yang paling serakah di antara yang lainnnya.

Hanya saja logika manusia sering terkalahkan dengan suara nafsu yang mengaku sebagai naluri. Semua selalu ada legalisasi, kompromi yang tak kenal etika.

Tentu saja, tak bisa di pungkiri, sebuah kesempurnaan memang menjadi satu hal yang idam-idamkan manusia. Entah dari dirinya sendiri ataupun orang lain. Menjadi sempurna untuk mendapatkan kesempurnaan. Sekilas, memang indah. Namun apakah kesempurnaan itulah yang terbaik baginya? Wallahua’lam.

Mencibir kekurangan tanpa pikir panjang. Tidak mencoba mencari sesuatu di baliknya. Tidak mencoba memahami apa yang di simpannya. Toh, kekurangan tak selamanya menjadi dirinya. Ah, seandainya semua orang memahaminya, termasuk aku.

Baik sendiri itu olahan subjektifitas manusia. Yang natijahnya pun akan selalu menjadi relatif, meski tidak menutup kemungkinan barometer umum itu akan terbangun dengan adanya suara mayoritas. Baik menurut satu orang, belum tentu baik menurut yang lain, terlebih lagi menurut-Nya. Aku sendiri belum menemukan mizan yang pas untuk menentukannya.

Tapi memang benar, manusia memang harus selalu mencoba untuk melakukan yang terbaik bagi apa dan siapa saja. Perintah Tuhan juga bukan?!

Lalu bagaimana dengan sesuatu yang akan di dapatkan?
Apakah harus mencoba mendapat yang baik juga?
Yaps, betul. Manusia pun harus selalu mencoba untuk mendapatkan yang baik. Hanya saja, sang muara bukanlah itu, tetapi "yang terbaik". Karena sesuatu yang baik (menurut kita-manusia-) belum tentu yang terbaik. Baik dan terbaik it berbeda. Persamaannya hanyalah, keduanya sama-sama di inginkan oleh manusia.[regards]


DH Palace, 11 Nov 2008
By: El_Funny

Seandainya aku seorang Khadijah...
Begitu indahY menjadi sosok wanita ideal, pendamping manusia tersempurna

Seandainya aku seorang Aisyah ra
begitu bahagianya menjadi wanita cerdas dan begitu di puja oleh hamba tercinta-Nya

kenapa selalu banyak "seandainya" yah?
Tapi aku tetap bersyukur, karena aku adalah milik-Nya
[regards]

Ilusi di atas Ilusi

Bagaimana aku bisa tidak menyadari "siapa aku?"
Bahkan aku masih sempat mengatakan "aku adalah aku"
Dengan penuh kepercayaan diri, aku bilang "aku ada"
Dengan satu jiwa sombong berdalih "aku bisa"
Perbuatanku mengatakan "Aku sedang melakukannya"

Aku
Aku
dan Aku...

Aku adalah Ilusi
Aku hidup di atas Ilusi
Saat aku mengatakan aku ada
Itulah sebuah Ilusi di atas ilusi
Yah, semua memang ilusi

Hanya Dia-lah yang Hakiki
Rabbi maafkan kami
Para Ilusi
yang sering tak menyadari siapa-lah kami

Terlebih lagi
"Aku"

[Regards]

IDUL FITRI

To: The readers of my blog

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI
Mohoh maaf lahir dan batin

Semua orang mengatakan hari ini, adalah hari kemenangan
So, aku berdoa, semoga kita semua memang benar-benar menjadi salah satu pemenang itu

Semua orang mengatakan hari ini, adalah hari kita menjadi suci kembali
So, aku berdoa, semoga kita semua memang benar-benar menjadi sesuci yang kita inginkan

Semua orang mengatakan, hari ini adalah hari besar umat-Nya
So, aku berdoa, semoga kita benar-benar menjadi "besar" untuk-Nya

Sekedar mempelajari apa yang bisa membuat-Nya mencintai kita:).

regards

Fiuuuhhh…ada aja!!!

Yah…sekarang tepat pukul 00:10 WK. Itu artinya, sepuluh menit yang lalu, aku telah memasuki hari yang baru. Btw…sekarang hari apa yah???
Wew…hu uh2, Yaps Senin.

Hari ini (kemarin maksudnya -sepuluh menit yang lalu-:D), bisa di bilang hari yang cukup melelahkan. Seharian jadi manusia jalanan, wekeke. Tapi insyaallah di jalan Allah kok (Ya iyalah, masak ya iya dunk).

Hmm…tapi bener-bener kehidupan yang indah…

Jam 08.00 aku harus segera prepare buat ngikut majmuáh* anak-anak baru. Yah, meski aku tidak bisa di bilang anak baru (Dah hampir tingkat akhir boo’:D), tapi aku termasuk pendatang baru di dunia ini (tasawuf-red). Hemm…pagi sekali untuk ukuran Kairo, yang notabene punya sirkulasi kehidupan yang terbalik. Kalo Peterpan yang nyanyi sih nggak pake kata sirkulasi terbalik. Langsung aja “kaki di kepala, kepala di kaki”, hue3x.

Agenda yang di rencanakan berikutnya, ikutan TALK SHOW-nya Word Smart Center plus technical meeting buat pelatihan 2 bulan kedepan. Jam 11:00 tepat!!!, gitu sih kata panitianya:D. But…bukan maksud melestarikan tradisi memalukan manusia Indonesia yang doyan ngaret sih, hanya saja pagi tadi aku benar-benar harus telat 2 jam dari jadwal semula. Humm…gimana nggak?!. Ngaji paginya belom kelar-kelar. Prediksi awal sih selesai sekitar jam 12:00 (GPP lah, telat sejam ke KPMJBnya), but…karena keasyikan dengerin mukhadarah sang Ustadz el-karim, jadi nggak rela juga ninggalin tuh majmuáh. Yah…maksud hati sih, biar seimbang, bisa dapet semua tanpa ada yang di korbanin.

Dan yaps…I couldn’t do anything. Just waiting for a permission!!!

Akhirnya, pukul 13:00 WK baru bisa nongol di pasanggrahan KPMJB. Hohoho…meski sedikit malu n nggak enak, nekat saja aku masuk (Ya iyalah, masak mau jaga di luar, weks).
Konklusi awal…
I was meeting => 3 presentator yang subhanallah…
Hem…nothing to say, just I like them!!!

Alhamdulillah…selesai juga akhirnya.

Pulang ke rumah sekitar jam setengah 6 sore. it’s the time for preparing “majelis dzikir” ba‘da maghrib. Ups…ternyata aku lupa, sebelum maghrib masih ada ngaji bersama Sang Ustadz tercinta. Humm…untungnya ngajinya nggak terlalu berat. Just about life, n I like it. Jadid hayatak milik Muhammad al-Ghozali pun jadi santapan kita.
GUBRAKK…sepertinya mataku dah nggak bisa di ajak kompromi deh. Ba’da maghrib rasanya dah pengen KO aja. Ngelihat bantal plus guling (nggak pake selimut, musim panas euy), jadi pengen tidur aja. Padahal majelis dzikir baru aja mau di mulai, hiks.
But…Nggak bisa!!!. Keenakan para setan dunk kalo ku turutin, ha3x. Ogah ah nemenin mereka. Mending masuk hamam, cuci muka plus tajdid al-Niyyah. Humm…YES, dunia kembali bersahabat denganku. Semangat itu masih tersisa rupanya.

Alhamdulillah…jam 23:30 kegiatanku berakhir.
Intermezo sebelum tidur => Curhat di Catatan harianku.

Dan…saatnya tiduuur…
Semoga Allah masih mengizinkanku melakukan sesuatu untuk-Nya esok hari.
Amin…

Regards
El_Funny
4 Agustus 2008
01:05

Terlalu sulit mendeteksi “Lillah” itu…

Ah…apa itu Lillahita’ala???
Karena Allah?
Hanya untuk Allah?
Hemm…mungkin saja seperti itu.

Bukan hal yang sulit untuk mengatakan, “aku melakukan semua ini lillahita’ala”, “aku beribadah lillahita’ala”, “aku beramal lillahita’ala”, bahkan “aku mencintaimu lillah”. Ah…bagiku terlalu mudah untuk sekedar mengeluarkan kata-kata itu dari mulut manusia.

Seandainya kata-kata itu bisa di jual. Mungkin saja akan ada berjuta-juta orang yang akan membelinya. Tidak menutup kemungkinan para manusia itu akan menumpuknya sebagai stok untuk di jadikan simbol dalam mengiringi segala tingkah lakunya.

Aku tidak yakin “lillah” itu banyak termiliki oleh makhluk yang bernama manusia. Terlalu banyak hal dalam sesuatu. “Lillah” dan “tendensi” itu berbanding begitu tipis. Banyak orang yang mengecoh dan terkecoh dengannya. Yah, sekali lagi hanya simbol. Dan itu semua bullshit!.
Teramat sulit melakukan sesuatu hanya untuk-Nya. SANGAT!!!
Banyak tedensi yang berdiri tegak dengan kemilauan cahaya fananya. Dan sayangnya, sering kita terlelap dengannya, tak sadar!

Hanya kalangan elitis (di hadapan-Nya) lah yang mampu melakukannya. Dan sekali lagi, sangat sulit terdeteksi. Orang-orang tertentu, pilihan, dan hamba ideal yang di inginkan-Nya lah yang mungkin bisa sampai pada tahap itu.

Barometer “Lillah”, bukanlah ikhlas dhohiri yang hanya terlacak via asumsi mata yang melihatnya. Tidak menutup kemungkinan memang, namun ibarat data, validitasnya perlu di pertanyakan. Bukankah don’t judge anything by the cover?. kecantikan cover bisa di rekayasa oleh layouternya. Dan mungkin itulah yang sering kita lakukan dalam lelap kita. Tanpa ada khudlur dengannya, namun sebaliknya, dalam kondisi yang futhur.

Lillah, perlu dzauq. Lillah perlu ikhlas internal. Lillah perlu khudur. Lillah tak kenal tendensi, obsesi apalagi ambisi. Lillah hanya bisa di ketahui oleh dua pihak, dia dan Dia.

Mungkin saja dalam lelapku aku mengatakan, “Aku ingin bershadaqah lillah”. Yap, mungkin saja seorang aku benar-benar lillah. Tapi, tidak menutup kemungkinan seorang aku sedang lupa begitu saja dengan konsekuensi yang di harapkan oleh nuraniku. Dengan mencoba untuk tidak menyadari bahwa aku memang menginginkan sebuah pujian. Atau mungkin saja balasan dari manusia yang lain. Atau bahkan demi sebuah nama baik. Atau bahkan surga. Hmm…lalu itukah lillah?

Atau bahkan saat seseorang mengatakan “Aku mencintaimu lillah”. apa itu?
Yakin cinta itu lillah?…sebentar, tak perlu sebuah jawaban sepertinya. Untuk satu statemen ini, agaknya perlu seribu pertanyaan untuk mengambil sebuah kesimpulan.

Lalu atas dasar apa seseorang mencintai?
Menginginkan?
Ambisi?
Kepentingan?
Nafsu?
Prestise?
Atau apa?

Bahkan dengan seorang teman. Misalnya saja, seorang aku mencintai seorang sahabat. Bukan hal yang sulit untuk mengatakan semua itu hanya untuk-Nya. Hanya saja, terkadang seorang aku lupa atas sebuah kepentingan. Mungkin aku menyukainya karena dia pandai, ramah dan baik bagi seorang aku. Dengan sahabat itu, dia bisa melakukan apa yang dia inginkan. Sahabat itu mampu mendukung seorang aku untuk mencapai idealismenya. Atau bahkan seorang aku hanya merasa lebih nyaman bersamanya. Tidak ingatkah bahwa semua itu masih berbalut warna putihnya sebuah kepentingan?
Ah…lalu itukah lillah?

Aku tak ingin menodai kata itu. Lillah adalah lillah.
Tak ada kata yang patut untuk mendeskripsikannya. Terlalu suci dan sakral.

Lillah tak mengenal hijab antara dia dan Dia.
Tak ada tendensi apapun…
Yah hanya Lillah

Dan itu sangat SULIT!!!

Wallahua’lam
Akupun tak tahu bagaimana cara melakukannya

Rabbi, tunjuki kami
Hanya jangan keluarkan kami dari koridormu
Bantu kami mencintai-Mu
Bukankah cintaMu kepada kami lebih besar dari pada cinta kita untuk-Mu?
Rabbi…
Maafkan kami
[Regards]

El_Funny
0400808 =>02:45

Kenapa harus protes dengan sebuah takdir???

Seringkali aku mendengar sebuah statemen, “manusia tidak bisa hanya mengandalkan skenario takdir tuhan, tanpa melakukan apa-apa”. Sebagai interpretasi aplikatif dari ayat “Innallaha la yughayyiru ma bi qaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim”.

Yah, bahkan itulah yang sering aku lakukan, dulu. Aku tidak memungkiri Allah Swt tidak akan memberikan sesuatu secara cuma-cuma kepada kami, para makhluknya. Kecuali makhluk-makhluk terpilihnya, dan tentu saja atas kehendak-Nya. Toh Dia berhak melakukan apapun.

Namun, sedikit yang buatku kecewa. Seringkali ayat itu di jadikan sebagai dalih legalisasi perbuatan manusia, dan tidak menutup kemungkinan termasuk aku di dalamnya. Perbuatan yang sebenarnya bukan termasuk dalam kemasan “hatta yughayyiru ma bi anfusihim”. Rangkaian cerita yang di rancang oleh makhluk Tuhan yang bernama nafsu, yang selalu mengikuti kemana manusia melangkah kerap menelusup di sela-sela perbuatan ”úsaha” versi manusia.

Secara umum, yang termasuk kedalam kategori takdir yang tidak bisa di rubah adalah yang berkaitan dengan rezeki, jodoh dan kematian. Kematian, mungkin tidak akan ada orang yang akan menyangkal, bahwa kematian itu rahasia Ilahi. Tidak akan ada yang mencoba beralasan atau sekedar menawarkan usaha untuk mempercepat atau memperlambatnya. Ya, kematian adalah kematian.

Berbeda dengan rezeki. Meski semua meyakini bahwa rezeki sudah di atur oleh-nya. Alokasi rezeki yang di tetapkan Tuhan sudah tercatat di lauh al-makhfudz. Namun ayat di atas tetap saja masih di posisikan di barisan pertama pintu ijtihad manusia. Semua harus ada usaha. Toh, tidak mungkin kan kita mendapat uang secara langsung (jatuh dari langit misalkan) dari Allah Swt. Okelah, mungkin usaha versi manusia kali ini bisa di terima. Meski pada akhirnya, ketika manusia sudah pada tahap putus asa dan pasrah, lagi-lagi semua akan bermuara pada takdir.

Lalu bagaimana dengan jodoh?

Sejatinya, akupun selalu bingung. Sebenarnya “usaha” yang bagaimana yang di inginkan Tuhan dari makhluk-Nya yang bernama manusia?!!.

Mungkin kekuatan, “jodoh adalah takdir” lebih kuat mengetengahkan kuasa Tuhan di banding “rezeki sudah ada yang mengatur”.
Jika ada yang mengatakan bahwa kita harus berusaha untuk bisa mendapatkan rezeki dari Allah Swt, sebab Dia begitu menyukai sebuah proses yang dilakukan oleh hamba-Nya. Aku begitu setuju, bahkan sangat setuju!!!.

Hanya saja aku selalu bingung saat orang mengatakan. Jodoh itu sudah di tetapkan oleh Allah Swt, namun selalu masih di akhiri dengan “Tapi kita juga harus berusaha”.

Selalu membuat jidatku mengkerut tiap kali mendengarnya. Sejujurnya, aku tak habis pikir, usaha yang bagaimana yang di maksud???
Okelah, katakan saja “iya” misalnya.

Lalu sekali lagi, apa bentuk usaha itu???
Pacaran kah?Selalu berusaha berpenampilan menarik kah?masuk pada banyak komunitas kah?melakukan proses pancarian dengan dua alat; mata dan nafsu kah?atau pasang iklan?Wew…

Aku sendiri tak tahu jawabnya yang mana.
Yang pasti aku selalu bingung.

Sampai saat ini yang menurutku masih sangat logis dan bisa di pertanggung jawabkan adalah, jika kita berusaha ingin mendapatkan jodoh yang baik, hanya “perbaiki diri” saja dulu. Bukankah Allah pun telah berjanji kepada kita, manusia. Siapapun yang baik akan mendapatkan pasangan yang baik pula. Berkaca pada diri sendiri, jika ingin tau jodoh kita seperti apa dan bagaimana.

Ada seorang teman mengatakan padaku. “Jika saat ini aku sedang bersenang-senang dengan lawan jenisku di luar, tidak menutup kemungkinan jodohku kelak, juga sedang melakukan hal yang sama dengan lawan jenisnya sekarang. Atau sebaliknya, mungkin saja jika saat ini aku sedang serius belajar dan bercinta dengan-Nya, maka tidak menutup kemungkinan saat ini juga jodohku pun melakukannya“.

Yap, kalimat-kalimat itu begitu lekat di otakku. Terimakasih sahabatku.

Entahlah, bagaimana seharusnya…
Aku juga tak tahu…

Yang pasti, “usaha” versi Tuhan sulit untuk di deskripsikan. Manusia hanya bisa meraba. Seringkali sebuah kebenaran yang di yakini manusia adalah kesalahan bagi Tuhan.

Hanya yakini, SEMUA DARI ALLAH
Tak perlu protes dengan takdir-Nya

Kau tak akan puas jika Allah memberikan apapun yang kau minta. Yakinilah, semua yang ada padamu, adalah pemberian tuhan atas butuhmu. Yah, karena Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita minta.[regards]

El_Funny
Kairo, 240808
15:08

13:40

Terjebak dengan skala prioritas

Mengapa aku semakin bingung dengan sebuah skala priotitas?
Aku sering terjebak dengannya.

Hari ini, ada beberapa hal yang masuk dalam skala prioritas kegiatanku. Masing-masing berprosentase sama.
Pertama, Sebenarnya, pagi ini aku dan kawan serumah ada majmuáh (pengajian tasawuf bersama Usz. Rahimuddin al-Nawawi). Pengajian wajib seminggu sekali khusus anak baru. Belum temasuk majmuah wajib lainnya (hari Rabu misalkan). Karena teman-teman pada nggak bisa, dengan sangat tepaksa, pengajian itu di tunda sampai hari Senin besok. Dan mau nggak mau, kegiatan untuk besok harus di cut semuanya.

Kedua, siang ini ada dua acara yang yang harusnya aku ikuti. Dua-duanya, tak ada yang bisa lebih di prioritaskan. FORDIAN dan WORD SMART. Satu LPJ dan satu lagi sekolah wajib seminggu sekali. Ah, capek deh!
Di satu sisi, dua hari lagi pengurus WIHDAH ada LKS (Laporan Kerja Semester) kepada DPA. Dan tentu saja aku termasuk di dalamnya, ya bendahara. BINGUNG…laporan banyak yang belum masuk. Sedangkan kemungkinan aku hanya mempunyai sisa waktu satu kali dua puluh empat jam untuk menyelesaikannya. Padahal aku harus bertemu beberapa bagian untuk memeriksa validitas data yang ku terima. Lalu aku harus bagaimana?. Dan di sisi yang lain juga, aku sedang kurang enak badan!.

Ketiga, aku putuskan, AKU TINGGALKAN SEMUA hari ini. Kebetulan nanti sore ada pengajian yang selalu di adakan menjelang majlis dzikir, setiap hari ahad dan kamis sore. Dua kali aku tinggalkan karena aku mengikuti program word smart, yang harus ontime dan tidak boleh bolos. Akhirnya, dengan sangat terpaksa aku mengikuti madzhab Bodoh amat!!!. Kali ini aku putuskan untuk tetap di rumah, mencoba menyelesaikan laporanku dan ikut pengajian dengan ustadz, jadid hayatak karya Muhammad al-Ghazaly.

Mohon maaf untuk FORDIAN, aku tidak bisa ikut LPJ dan diskusi terakhir sebelum pergantian pengurus hari ini. Aku juga tidak bisa membantu banyak, bahkan akupun tidak bisa menjamin untuk terus ikut aktif bersama para senior seperti kalian. Dan Word Smart, maafkan aku juga. Berat untuk tidak mengikuti satu pertemuanmu. Tapi aku tak bisa apa-apa, banyak prioritas yang kali ini menagih jatah mereka.

Yah, aku sering terjebak dengan prioritasku sendiri. Padahal disana ada prioritas dari prioritasku sendiri yang belum terealisir.

Apa itu??
Biarkan aku dan Dia yang tahu.

Kairo, 24/8/2008

FLUKTUASIKU

Kemarin, 6 Agustus 2008. Natijah kelas 3 Tafsir turun.

Hmm…LEGA!!!

Alhamdulillah, akirnya masa penantian itu telah selesai. Benar-benar hari yang sangat menegangkan. Badan serasa tak bertulang ketika Najah, temen seperjuanganku, memberi tahuku kalau hari ini nilai turun.

LEMES…asli deh!!!

Selain capek, karena baru pulang dari rumah Ustadz. Aku juga sedang mempersiapkan mental, andai saja kemungkinan terburuk yang terjadi. Oh, no!!!. membayangkan saja, dunia seakan menjadi gelap, ha3x.

Rencana awal sih aku sendiri yang akan melihat dan mengambil natijah ke kuliah. Tapi aku juga khawatir bakal terlambat dan kertas nilai itu dah tersobek dan hilang. Aduh, harus gimana yah. But…untung channel-ku banyak, aku nitip saja sama salah satu sahabat terbaikku, si Neila.

Sebenarnya, sudah pernah kontrol seh sebelumnya. Hasil kontrol yang cukup menenangkan, meski ada sedikit harapan untuk ada kesalahan yang berujung kepada penambahan nilaiku, bukan sebaliknya. Tapi tentu saja, aku sudah akan sangat bersyukur sekali sengan ketetapan-Nya untukku. Aku selalu percaya, Dia menyimpan banyak hikmah untukku.

Dan akhirnya, Yaps…
“Mita, tenang aja ya, nilai kamu masih bagus kok”, suara di seberang sana sedang memberi tahuku.
Otakku berjalan cepat mencerna kata-katanya. “Masih bagus??”, batinku bertanya-tanya. Kata-kata ini sarat akan sebuah maksud “membuatku tenang”. Dan yah, benar dugaanku. Hasil kontrol itu tidak meleset.

Tahun ini aku mendapat predikat JJ. Ups…tapi bukan Jayyid Jiddan. JJ tahun ini berubah singkatan => Jayyid aJa, ha3x.

Yah, ternyata semua memang ada fluktuasi, termasuk natijahku. Tentunya aku sangat tak patut untuk tidak bersyukur, terlalu naif kalau harus ada penyesalan, terlalu tamak saat aku hanya mengeluh dan melupakan bahwa itu skenario-Nya. Natijahku kembali seperti natijah tahun pertamaku. Yah, Jayyid. Meski dengan psikologi yang berbeda. Tentu saja, saat itu aku menerima nilai Jayyid, dengan kondisiku yang belum pernah menerima natijah sebelumnya, dan target hanya sebuah kenajahan. Sedangkan tahun ini, posisi nilaiku, merosot. Setelah sebelumnya aku berpredikat Jayyid Jiddan, sebuah kewajaran bukan, saat kekecewaan itu sempat menghampiri memori otakku.

Tapi, itu hanya sebentar. Sejenak saja. Selanjutnya ribuan syukurku pun seakan tak cukup untuk mengungkapkan hadiah Tuhan untukku tahun ini. Sepertinya memang ada degradasi pada kelas 3 tafsir ini. Meski ada beberapa orang juga yang mengalami peningkatan, tapi aku menemukan banyak sekali yang mendapati nilai mereka menurun. Ada yang tadinya JJ menjadi single J, ada yang tadinya Jayyid menjadi manqul (bawa madah), dan lain-lain.

Tapi, tentu saja sekarang bukan saatnya membahas itu. Itulah fluktuasi, Allah sedang menguji dan mengingatkan kita. Ya, itulah bentuk kasih sayang-Nya untuk kita.

Khususnya aku…

Terimakasih ya Allah, atas kelulusanku tahun ini.
Terimakasih, engkau tidak sedang marah padaku bukan?. Aku bersyukur pada-Mu.

Aku tahu inilah yang aku butuhkan. Saat ini aku memang sedang membutuhkan Jayyid itu. Mungkin Allah tahu, mungkin saja jika aku tetap dengan predikat lama, semangatku tidak akan bangkit lagi. Mungkin saja aku akan sangat meremehkan apapun, kuliah misalnya. Allah tahu, mungkin saja jika aku tetap ber-JJ, aku tidak akan berusaha maksimal untuk berusaha khusnul khotimah di akhir perjalanan S1 ku disini. Dan Allah pun menyadarkanku, apa arti sebuah proses.

Proses belajarku tahun ini memang kacau. Hampir tidak pernah kuliah, belajar tidak semaksimal tahun sebelumnya. Ya, itulah aku. Dan pantas bukan saat Allah mengingatkanku tahun ini. Maafkan aku Rabbi…

Benar kata ustadz “Allah tidak akan memberikan apa yang kita minta, tapi Dia akan selalu memberikan apa yang kita butuhkan”. Subhanallah memang, aku baru menyadari makna dari statemen tersebut.

Aku jadi teringat. Dulu aku pernah mengatakan, “Ällah begitu mengerti aku ya, saat aku harus menyediakan budget yang cukup tinggi untuk bayar sewa rumah (karena serumah cuma berempat), allah mengantarkan rezeki itu melalui pintu Bait al-Zakat dengan nilai JJ. Cukup besar jumlah beasiswa yang aku terima, dan sangat sesuai dengan kebutuhanku kala itu, ya sangat pas”.

Dan Allah pun tahu, sekarang aku sudah tidak tinggal di tempat yang sama. Aku tak perlu mengeluarkan biaya sebesar sebelumnya untuk sewa rumah. Dan itulah jawaban Tuhan untukku. Mungkin dia tidak ingin mempersulitku saat LPJ dengan-Nya nanti, di sana. Terimakasih Rabbi…
Kau tahu apa yang aku butuhkan.

Hanya saja, anehnya…
Aku merasa natijah tahun ini lebih indah dari dua tahun sebelumnya.
Aku menyadari banyak hikmah
Aku menyadari ketidak sadaranku
Aku menyadari Allah begitu menyayangiku

Terimakasih Rabbi…

Regards
El_Funny
070808 =>10:40

Detik-detik natijahku

Benar-benar hari yang menegangkan. Detik-detik dimana natijah mulai turun. Saat dimana para masisir harus mempersiapkan mental untuk menerima natijah, seandainya saja kemungkinan yang terburuk itu terjadi.

Ah, benar-benar saat yang menyebalkan. Tapi justru di sinilah seninya, ha3x. Saat ketakutan itu begitu memuncak, saat semua tak bisa terprediksi, saat harus memaksa diri untuk bisa menerima segala kemungkinan yang kan terjadi.

Hanya ada dua kemungkinan, Najah dan Rashib. Rabbi, berikan kemungkinan pertama pada kami. Mungkin juga hanya ada dua pilihan; senyuman atau tangisan. Saat dimana orang-orang mulai mereplay memori ujian mereka masing-masing, untuk sebuah prediksi yang ujung-ujungnya juga wallahua‘lam.

Dan aku?
Bagaimana dengan aku?
Aku baru sadar, mempertahankan lebih sulit dari pada meraihnya. Dua tahun dengan taqdir yang cukup memuaskan itu membuatku merasa seribu kali lebih takut.

Banyak ‘seandainya’ yang muncul di otakku. Memenuhi memori optimisku. Mendelete sebagian kepercayaan diriku. Meski aku tahu, itu bukanlah aku. Aku selalu percaya, that the one is what he thinks. Dan mungkin juga aku. Aku selalu percaya dengan kepercayaan Tuhan padaku. Dengan segala rasa tawadhu’ku pada-Nya, aku selalu berharap Dia menitipkan kepercayaan-Nya untuk ku memegang amanah cantik-Nya.

Tahun pertamaku, Jayyid. Tak ada perasaan apapun, kecuali rasa syukur yang sangat atas kepercayaan Tuhan padaku. Terimakasih Tuhan, terimakasih ya Allah. Mungkin Tuhan percaya, aku akan lebih semangat dengan predikat itu. Mungkin Dia yakin aku tidak akan sombong dengan itu. Mungin Dia memberiku sebuah motivasi untuk lebih baik selanjutnya. Mungkin juga itu bentuk penghargaanya padaku. Mungkin juga karena Allah menyayangiku. Terimakasih Tuhan.

Terimakasih engkau memberi motivasi bukan melalui sebuah kegagalan. Terimakasih engkau menaburkan benih semangat melalui sebuah awal yang cukup baik. Namun maafkan hamba, saat takabur itu sempat terlintas. Saat jiwa narsis itu sempat muncul. Yah, meski hamba tahu kau selalu membantu hamba untuk segera menepisnya. Karena hamba tahu engkau tahu hamba adalah manusia; tempat kesalahan itu bermukim.

Tahun keduaku, Jayyid Jiddan. Sekali lagi Allah memberiku sebuah kejutan yang begitu mengagumkan. Padahal ada insiden yang cukup mengerikan bagiku. Bagaimana tidak, aku sempat mengalami salah madah di tahun kedua ini, tepatnya term kedua. Karena keteledoranku yang sedikit meremehkan peran konfirmasi informasi yang valid, akhirnya satu madah menjadi korban. Ulumul Haditsku hancur. Kurang 3 poin untuk sampai pada nilai maqbul. Tapi tentu saja dengan izin-Nya, akhirnya nilai al-Quránku bisa me rafa’ tiga poin tersebut. Dan alhamdulillah, itulah hadiah Tuhan untukku di tahun keduaku.

Aku menerima informasi natijah ketika berada di rumah. Kebetulan sekali tahun 2007 kemarin aku di izinkan pulang oleh orang tuaku, dan Allah tentunya. Fiiuuh, benar-benar nggak nyangka, aku bisa sampai pada predikat itu. Perasaan hopeless ku sudah mendominasi. Apalagi saat itu aku sedang berhadapan secara langsung dengan orang-orang tercintaku, yang pastinya kepada merekalah aku mempertanggung jawabkan hasil perantauanku. Ketakutan memang sempat memuncak, tapi aku tahu mereka tak akan pernah memojokkanku dengan tuntutan-tuntutan mereka, yang selama ini sengaja ku lukiskan sendiri di otakku. Yah, sekedar untuk motivasi.

Dan itulah kejutan Allah untukku. Meski keteledoran itu sempat ku lakukan, namun Allah tak pernah teledor padaku. Dia selalu berhasil membuatku menjadi seorang hamba yang begitu malu atas nikmatNya. Sekali lagi terimakasih Tuhan.
Hari ini…
Detik ini…
Aku tak bisa memprediksi skenario-Nya untukku.
Aku tahu, Dia bijak. Bahkan sangat bijak.
Apapun itu, pasti ada skenario cantik di baliknya.

[regards]
El_funny
050808 => 00:15

Kembali aku memasuki Ramdahan-Mu Rabb…

Izinkan aku masuk dengan indah
Masuk pada wadah yang fitri
Aku pun ingin menjalaninya dengan fitri
Tentu saja, karena aku menginginkan menjadi fitri nantinya

Tapi aku selalu saja masih futur
Entah kemana diriku yang sedang tak bersama-Mu
Melancong ke negeri tiada arah
Tanpa beban dan seakan tak berdosa
Mengaku kuat dengan segala kelumpuhan
Nampak tegar dalam balutan kerapuhan
Tersenyum dalam airmata penyesalan

Dan sayangnya
Aku hanya mampu melukisakan penyesalan itu
Dengan liukkan kataku
Dengan semburat lusuh wajahku
"saja"

Tak ada yang istimewa
Sedang aku hanya "sedang" mencoba untuk melakukannya
Aku hanya mahir berapologi
Dengan-Mu yang sebenarnya tak membutuhkannya

Bukan lagi hitungan bulan ataupun hari
Kau tlah jawab rinduku pada-Mu
Kau kirimkan Ramadhan-Mu untukku
Kau sediakan ruang lapang
Untukku yang sedang ingin berlari
Dan tertatih mengejar-Mu

Hanya tinggal beberapa hari lagi.

Ramadhan yang kita tunggu-tunggu akan tiba juga. ALHAMDULILLAH...semoga kita semua benar-benar siap untuk menyambut dan menjalaninya.

Masuk fitri, dengan fitri dan untuk fitri => Masuk bulan Ramadhan yang fitri, dengan diri dan jiwa yang fitri, untuk menjad pemenang (fitri) di hari yang fitri nanti.

Semoga Ramadhan kali ini, Kita benar-benar bisa menjadi HAMBA ideal yang di inginkan-Nya, amin.

[regards]

Untung aku tertidur

Gubrakkk...aku baru sadar, sedari tadi ada berpasang-pasang mata melihatku dan temanku yang duduk tepat di sebelah kananku, sedang ketiduran. Entah...sudah berapa lama. yang pasti aku cuma bisa melihat senyuman orang-orang yang ada di depan kami.

Weks...malu sih sebenarnya. tapi perasaan maluku nggak bisa mengalahkan rasa kantukku siang itu. Asli...mata dah nggak bisa di ajak kompromi. Dengan bermodal "bodoh amat", aku terusin aja tidurku siang itu. yap...di bis yang penuh dan sesak.

tiba-tiba suara wanita paro baya mengagetkanku.

"Pencuri...pencuri...", teriak wanita dengan nada yang sarat akan emosi kemarahan dan penyesalan.

seketika aku tersadar, bahkan kantukku pun tak tersisa. Rupanya wanita itu kehilangan dua cincin yang melingkar di jari manisnya. Fiiuuhh...kasihan juga sih, apalagi melihatnya menangis dan seakan-akan kehilangan harapan. Dia bilang, cincin itu akan di jualnya untuk pengobatan.
rabbi...mudahkan dia...

Hanya saja yang semept buatk deg-degan neh. Si Ibu, berdiri tepat di depanku. Fiiuuuhh...capek deh!!!
Gimana nggak takut coba, tangan ibu itu di sandarin dikursi depanku, pas di depanku mataku. Hiii...gimana kalo aku jadi tertuduh. Hahaha...pikiran anehku pun keluar!!!

but...UNTUNG AKU TERTIDUR...!!!

Allah menyelamatkanku dengan buatku terlelap...

Pernikahan dini ... WHY NOT?

Pernikahan dini ...WHY NOT?


Dalam terminologi umum, pernikahan merupakan sebuah prosesi penyatuan dua jenis anak Adam yang berbeda dalam satu arena yang di sebut rumah tangga, dengan akad sebagai satu-satunya gerbang legalisasinya. Bahkan terkadang pernikahan juga di jadikan sebagai area aplikasi dari rasa sayang kita terhadap kaum tetangga. Pun merupakan sebuah terma yang hampir bisa di pastikan tidak pernah absen dari list impian setiap makhluk Tuhan yang paling sempurna ini.
Hanya saja, kita tak bisa menafikan sakralitas dari sebuah pernikahan. Pasalnya, untuk menuju pada tahapan ini, kita perlu menyiapkan banyak hal, baik yang bersifat materiil (lahir), seperti nafkah (terutama bagi laki-laki), tempat tinggal dan sejenisnya, maupun non-materiil (batin/ faktor-faktor psikologi). Maka tak mengherankan saat kita menemui sebuah statemen bahwa pernikahan merupakan awal dari segalanya atau bahkan tak jarang kita mendengar banyak kalangan yang mengatakan bahwa pernikahan adalah tahapan kehidupan yang sebenarnya.
Namun, lain halnya ketika kita menengok dimensi lain dari kehidupan sosial kita. Akan muncul varian opini tentang terma ini, ketika di lakukan pada usia-usia dini, atau yang di sebut pernikahan dini. Sebagian mereka ada yang pro dengan tindakan ini, namun ada juga kalangan-kalangan tertentu yang begitu antipati dengan hal ini.
Ada sebuah pandangan stereotip mengenai pernikahan dini. Selama ini pernikahan yang umumnya di lakukan oleh para pemuda/pemudi yang notabene belum siap untuk memasuki dan menjalani kehidupan berumah tangga, yang mana kedewasaan yang menjadi modal utama yang belum sepenuhnya mereka miliki, merupakan salah satu hal yang tabu.
Sejatinya, kata “dini” juga masih besifat relatif. Dini bagi satu orang bukan berarti dini bagi yang lain. Artinya ketika orang itu menganggap dalam usia kesekian seseorang masih dianggap terlalu dini untuk masuk ke jenjang pernikahan, belum tentu orang lain akan berpendapat sama. Hanya saja barometer dari kata “dini” itu sendiri masih terpacu pada pandangan umum yang berkembang dalam masyarakat. Umumnya, usia menikah bagi kaum pria berkisar sekitar 27-30 tahun, sedangkan wanita sekitar 22-25 tahun. Kurang dari itu dianggap belum memenuhi syarat (belum siap untuk menikah). Menilik dari hal ini, maka secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa para pelajar dan mahasiswa lah -meski tidak semua- yang menjadi objek sasaran (aktor utama) dalam kasus ini.

Motif-motif pernikahan dini

Terlalu dini mengambil sebuah kesimpulan tentang sesuatu, memang bukan hal yang baik. Semestinya statemen inipun berlaku dalam hal ini. Jangan terlalu dini memberikan vonis negatif terhadap pernikahan dini.

Alasan merupakan sesuatu yang lazim dalam pertanyaan. Lalu, mengapa banyak sekali fenomena pernikahan dini dewasa ini?
Banyak ‘karena’ yang harus kita perhatikan ketika melegitimasi pernikahan usia muda yang semakin membludak dewasa ini. Diantaranya;

Pertama, faktor ekonomi. Umumnya ini terjadi pada masyarakat yang tergolong menengah ke bawah. Biasanya berawal dari ketidakmampuan mereka melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Terkadang mereka hanya bisa melanjutkan sampai sekolah menengah saja atau bahkan tidak bisa mengenyam sedikitpun kenikmatan pendidikan, sehingga menikah seakan-akan menjadi sebuah solusi dari kesulitan yang mereka hadapi. Terutama bagi kaum hawa, di tengah-tengah kondisi ekonomi mereka yang sulit, para orangtua lebih memilih mengantarkan putri mereka untuk menikah, karena paling tidak sedikit banyak beban mereka akan berkurang. Tapi akan sedikit berbeda bagi anak laki-laki. Sebab, seperti yang kita ketahui, peran laki-laki dalam kehidupan berumah tangga sangatlah besar, sehingga bagi kaum adam minimal harus mempunyai ketrampilan terlebih dahulu sebagai modal awal membangun rumah tangga mereka.
Kedua, meminimalisir pergaulan bebas. Corak pergaulan remaja saat ini telah banyak menyimpang dari norma-norma yang ada, terutama norma agama. Pernikahan dianggap sebagai sebuah solusi atas apa yang acapkali ditimbulkannya. zina misalkan, sehingga tanpa disadari pernikahan hanya dijadikan sebagai justifikasi aktivitas seksual mereka.
Hal ini berkaitan dengan kondisi seksualitas pada remaja. Seperti yang dituturkan oleh Zainun Mu’tadin, SPsi, MSi. Pada makalahnya yang bertemakan pendidikan seksual remaja. Bahwasannya rasa ingin tahu mereka terhadap masalah-masalah seksual lebih tinggi, sebab pada masa ini remaja berada dalam potensi seksual yang aktif karena pengaruh hormon.
Ketiga, ambisi. Sekilas kata ini memang terlihat sangat tidak pantas untuk menjadi sebuah alasan suatu pernikahan. Namun, tak jarang ambisi menjadi salah satu faktor adanya pernikahan dini. Keinginan mereka untuk segera merasakan kehidupan berumah tangga membuat mereka mengambil keputusan yang terkadang tanpa dibarengi dengan pertimbangan-pertimbangan yang bijak. Ironisnya, kadang orientasi mereka bukanlah orientasi berumahtangga, namun lebih cenderung pada tendensi seksualnya saja. Inilah yang acapkali memunculkan dampak negatif yang sering kita temui.
Keempat, MBA (Married By Accident). Faktor yang keempat inilah yang selama ini identik dengan pernikahan dini. Tak jarang ketika orang mendengar tentang pernikahan dini, asumsi pertama yang muncul, MBA (Married By Accident) adalah penyebabnya. Dan memang fenomena yang sering kita dapati, hamil di luar nikah kerap menjadi alasan para remaja zaman sekarang melakukan pernikahan dini ini. Sungguh sangat disayangkan memang. Banyak generasi yang gagal membangun hidupnya hanya dikarenakan kesalahan mereka dalam memanage apa yang seharusnya mereka lakukan. Ketika mereka sudah dalam kondisi under control, rasio mereka kalah. Sehingga potensi kegagalan semakin besar, apalagi didukung dengan tingkat emosional mereka yang cenderung labil. Faktor inilah yang menjadi salah satu poros munculnya konotasi negatif.

Pernikahan dini? Why not?!

Tak bisa di ingkari, aplikasi pernikahan yang di lakukan di usia dini memang sering menimbulkan implikasi negatif yang berdampak pada buruknya citra pernikahan dini itu sendiri. Terlebih lagi, saat hal ini di hubungkan dengan Pendidikan para pelaku pernikahan dini yang sarat akan degradasi kualitas mereka. Meskipun hal ini bersifat particular, namun realita mengatakan itu dengan sangat jelas. Banyak sekali generasi masa kini yang Terjebak dengan kehidupan baru mereka. Di karenakan minimnya kesiapan psikologis mereka, untuk sekedar memenuhi tuntutan biologis yang sebenarnya sangat bisa untuk di temukan solusinya.
Namun tak ada salahnya kita ber khusnudzan dalam masalah ini. Kini, pernikahan dini tak hanya sebagai solusi bagi mereka yang tak bisa melanjutkan Pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Pun tak hanya sebagai solusi bagi mereka yang merasa kurang dalam kekuatan finansial. Pernikahan dini tak hanya di lakukan oleh kalangan primitif saja, sekarang para akademisi pun banyak melakukannya.
Sama ketika kita mengatakan bahwa Islam itu tak salah, hanya pemahaman dan aplikasi dari orang islam yang menyimpang lah yang sering menjadi pemicu isu miring tentang agama ini. Atau tasawuf misalkan, tak ada yang salah dengan tasawuf, hanya pemahaman dan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan konsepnya yang membuat banyak orang menjadi ill feel dengan kata itu. Pun terhadap pernikahan dini. Sekali lagi, tak ada yang salah dengan kata itu, hanya saja saat para pelaku tak melakukan konsep pernikahan dengan semestinya, maka kata “dini”itulah yang kerap menjadi kambing hitam dari kesalahan-kesalahan mereka.
Lalu tetap layakkah kita memicingkan mata kita dalam memandang pernikahan yang juga syarí ini. Dia bukan tabu, dia bukan menyimpang dari koridor agama. Dia tetaplah sah, dan dia tetaplah washilah untuk sampai kepadaNya. Bahkan pernikahan dini mempunyai satu peran penting dalam men ta’jil masa kedewasaan seseorang. Seperti yang di katakana oleh…ketika seseorang sampai pada usia remaja menuju dewasa, maka dua unsur manusiawi mereka; Akal dan nafsu (syahwat), tak berjalan searah dan seimbang. Peran nafsu mereka lebih dominan dari pada permainan rasio. Boleh jadi pernikahan menjadi salah satu obat mujarab untuk mengatasinya. Sebab saat rasio tidak mandominasi manusia, stabilitas emosi pun terkadang mendapat implikasinya. Seseorang yang telah melewati fase ini (pernikahan), bias di pastikan 90 % tingkat kedewasaannya lebih cepat di banding dengan orang-orang yang masih menjalani hidupnya hanya dengan “dirinya”.

So…Pernikahan dini??
Why not??!!!
Semua akan baik-baik saja, ketika semua berjalan secara proporsional.


Sabtu, 26 Juli 2008
10:02



Manusia sering terjebak oleh ambisi dan kepentingan.
Keinginan yang sering berbenturan dengan realitas, sering mengoyak idealisme palsu manusia. Idealisme tanpa dasar. Idealisme tanpa rasio. Idealisme tanpa nurani. Idealisme yang hanya sebuah simbol.

Aku ingat saat ku menginginkan banyak hal. Masa kecilku...
Merengek, menangis, bahkan pasang aksi ngambek sama orang tua, hanya karena keinginanku tak terpenuhi.
Hanya karena sebuah boneka mungil, aku rela tuk membuat air mataku mubadzir begitu saja.
Hanya karena sebuah baju baru, aku berteriak meluapkan emosi labilku.
Hanya karena sebuah sepatu pengganti sepatu bututku, akupun nekat tuk bolos sekolah.
Hahaha...
masa kecilku
Begitu manjanya, sampai begitu menjijikkan bila ku mengingatnya.

Kini...
Tentu bukan masaku seperti itu. Aku harus bisa berdiri di atas power Tuhan untukku. Aku tak mungkin menarik semua orang masuk pada arenaku. Yang mungkin saja, hanya bisa di pahami oleh seorang aku.

Hanya saja, entah apa yang membuatku sedikit illfeel dengan makhluk yang bernama idealisme. Aktor penjebak dalam kungkungan ambisi, yang banyak tidak di sadari oleh makhluk yang bernama manusia.

Ah...berjalan sajalah
ikuti jalan lurus, izinkan sang nurani menjadi navigasi
Tuhan kan ikuti...
meski sebenarnya, Dia lah yang mengerti

el-Funny
Kairo, 27 Juli 2008
16:16

Fakir cinta-Mu

Tak mudah tuk mencoba melebur dengan-Nya
Sulit...
Teramat sulit

Aku sering tertidur untuk-Nya
Namun terbangun tanpa-Nya

Aku sering meminta-Nya
Mengiri perjalanku
Hanya saja,
kebodohanku menguasaiku
Aku berjalan, terus, dan berjalan
Aku kembali lupa menengok-Nya
Dan akhirnya aku semakin jauh dari-Nya

Saat ku dapati raga utuhku
Tak sebanding dengan jiwa hampaku
Aku hanya bisa "mencoba" menangis
Karena ku memang payah!
Aku tertatih mendapatkan tulus itu
Rabbi...
Rabbi...
Futurku tak kunjung hilang
meski aku sadar, saat ku bersamaMu
Benar-benar kenikmatan tak terbayar
Rabbi...
Rabbi...
Apa yang harus budakMu ini lakukan
Kenapa aku hanya bisa "berusaha" untuk menyesal
Mana sadar itu
Lenyap, seketika

Berulang kali Kau ingatkan aku
Kau turuti semua inginku
Rabbi...
Rabbi...
Aku ingin menangis atas namaMu
Simpuhku pun tak kan cukup untukMu
Sadarkan aku
Aku kerdil
Akulah si fakir yang membutuhkanMu

Rabbi...
Aku ingin benar-benar mencintaiMu
Karena aku tahu
Kau akan lebih mencintaku

Rabbi...
tersenyumlah
untukku

Budak fakir-Mu

Aku selalu tak bisa meraba masa depan
Aku terlalu takut tuk sekedar mendongak
melihatnya
merencanakannya
apalagi membuat skenario itu

Aku tahu itu bukan kuasaku
Aku percaya dengan Sang pemilik skenario itu

Rabbi...
Aku tahu
BijakMu selalu mengiriku

prestise???...menyebalkan!!!

Ga Penting...!!!

Memang benar, seharusnya tak ada prestise dalam jabatan dan tak seharusnya ada perbedaan strata dalam kedudukan. Semua hanya tipuan karena semua hanya sebuah simbol.

Anggap saja, itu hanya sebuah sebutan untuk memudahkan kita dalam penyebutannya. Anggap saja itu hanya sebuah identitas untuk menunjukkan kita seperti apa perannya.

Tapi sekali lagi, tanpa prestise...
Ah...prestise...prestise...
Menyebalkan...
Seringkali hal itu mengecoh banyak orang.
Kenapa semua seakan melejit dengannya?. Padahal, itu bukan haga mati dari sebuah kualitas, terlebih lagi di depan-Nya. Ah...memalukan!!!

Apa coba yang bisa di banggakan dengan sebuah posisi.
its great...saat semua berjalan proporsional, saat niat itu tartata cantik untuk-Nya, dan saat semua tak ternodai dengan ambisi.

Hanya Allah yang tau...

Sebenarnya banyak yang ingin ku tulis
tapi tiba-tiba saja memori itu berlari
bersembunyi dan terpendam

Tak bisa terkuak
Tumpukan puingnya begitu kuat
Sekedar menengokku saja enggan

Ah...
Aku bosan!

Sebuah kebahagiaan yang tak bisa terbeli
Terimakasih Tuhan

Hehehe...tahun ketiga ini aku mulai punya kebiasaan aneh...:D

Tiap kali ngerasa belom tamam belajar, entah buat murajaah quran ato sekedar baca muqoror, yang selalu nyangkut di otak tuh "Seandainya masih ada waktu seminggu lagi, pasti tamam deh", (itu berlaku kalau waktu dah H-1). Beda lagi kalau dah mepet banget, dalam hitungan jam misalnya. Yang keluar pasti deh "Seandainya masih ada waktu sejam atau dua jam lagi, pasti tamam deh"

Ugh...emang nggak ada puasnya!!! Dasar...:D

Nah yang parah, akhir-akhir ini. Quran berhasil menyulapku. Semua ku tinggalin demi dia. Sampai Muqoror sekalipun. Kelihatan nggak adil sih, tapi untungnya, jatah Muqoror dah di takjil sebelumnya, he3x.
Selalu ngerasa belum tamam dan kurang waktu:(
Alhasil...tiap malem (Kalo jam dah menunjukkan pukul 11 malem), ku setting jam HPku dua jam lebih awal (Nah...jadi masih jam 9 kan?, he3x). SUGESTI diri biar nggak ngantuk aja sih ceritanya, wekeke. Nah...nggak sampe situ aja. Biar sugestinya mempan, jam dinding yang selalu menemaniku sebelumnya aku tutup aja sama kain, biar nggak kelihatan (Ha3x, parah nggak seh).

Tapi...
SUER, nggak akan berlaku sampai ujian nanti...
Wah..bisa gawat kalo gitu
bisa2, yang seharusnya dah jam masuk ujian, aku masih terlelap di rumah
Ampuuuunnn

Fiiiuuuhhhh...
[regards]

Mencoba mengingat atau sengaja melupakan

Pas lagi nyantai, iseng2 aja aku ngobrol ma salah satu temenku

Fiiuuhhh, cewek yang HP-nya super sibuk. Nggak pernah absen dari sms atau telpon meski cuma sehari. Yups, siapa lagi kalau bukan cowoknya.

"Wah...mabruk lah, kayaknya cowoknya perhatian banget yah?", candaku dengannya

Spontan aja aku ngomong gitu pas dia nyeletuk, kasih komentar tentang isi SMS yang di terimanya.

"Fiiiuuh...mau sholat pake di absen dulu mas mas", celetuknya tanpa sadar
" Hehehe, bagus tuh. Ngingetin ke Dia terus", kembali ku jawab asal.

tapi satu jawaban dia yang sempet bikin aku terhenti untuk meneruskan komentarku.

" Iya sih Mit. Dia memang sering ngingetin aku buat belajar, puasa, ibadah, de el el. Tapi tanpa sadar, tarkadang justru dialah yang mengajakku untuk melupakanNya"

Dan aku hanya diam
tercengang dengan kalimat yang baru saja keluar darinya
Sederhana tapi sangat dalam

Rabbi...
Jaga kami
[regards]

Semua akan berjalan apa adanya
Tanpa paksaan
Apalagi
tuntutan

Semua akan mengalir
Seperti arus air sungai
Yang berlabuh pada muaranya

Bebas
dengan suasana surga
Yang nyaman
Dan kan cipta satu makna
CINTA

Selalu tak ada yang salah dengan "YAKIN"

Hemm...satu kata yang selalu menjadi POWER bagiku.
Sangat sederhana memang, namun tiap kali aku di hadapkan dengan satu masalah, Yakin selalu menjadi teman terbaikku.

Jangan pernah takut untuk yakin, bagaimanapun keadaan kita. Saat ku merasa mulai jatuh dan kehilangan semuanya, saat itulah aku mulai meyakinkan diriku, bahwa AKU BISA.

"Mbak aku takut...aku benar-benar takut" , Suara itu terdengar begitu lirih seakan tangisannya pun ingin turut berbicara. Sejenak hatikupun merasakannya, karena akupun sedang mengalaminya.

Tapi tak lama kemudian, suara itu berubah. Dengan tegar dan percaya diri dia bilang "Ah nggak!!! Kita harus yakin, insyaAllah semua akan baik-baik saja. Allah tahu kita sedang berproses kan mbak?", sebuah pertanyaan yang ku "iya" kan singkat.

Yah, aku selalu yakin, "Kita adalah apa yang kita pikirkan". Dan Tuhan akan mengamininya. Manusia hanya tinggal memikirkan dan melakukan sebuah proses yang berkualitas, bagaimanapun caranya.

Aku adalah orang yang selalu tak berani berpekulasi untuk gagal, tapi aku juga bukan orang yang tak siap menerimanya. Aku adalah orang yang tak pernah berani untuk tak yakin dengan diriku, namun aku juga termasuk orang yang krisis kepercayaan diri. Aku adalah orang selalu takut untuk tidak berlari dan mengejar cita, namun aku juga orang yang sering takut untuk mencoba. Ah...

YAKIN...YAKIN...YAKIN
InsyaAllah, Dia kan menjawab keyakinan kita
[regards]

Proposal kecilku

Ya Rabb...
Kau tak pernah memarahiku
Kau tak pernah enggan memberiku
Kau tak pernah meninggalkanku
Kau tak pernah lupa menyapaku
Kau tak pernah lelah bedialog denganku

Kau menyadarkan aku banyak hal

Bahwa aku:
Sering terlupa oleh-Mu
Sering terlena oleh pemberian-Mu
Sering lelah berdialog dengan-Mu
Sering lupa untuk sekedar berdzikir-menyapa-Mu
Sering menjadi konsumen yang tak tahu diri, tuk sekedar berterimakasih pada-Mu
Sering meminta banyak hal pada-Mu


Lalu:
Apa yang telah ku lakukan untukMu?
Bahkan sekedar mengucap kata Syukur, aku sering terlupa
Maafkan aku Rabb

Dan:
izinkan hamba yang tak tahu diri ini
mengajukan satu proposal kecil pada-Mu
"Jaga aku saat kau siap berkencan denganku"
[Regards]

Selalu ada edisi sakit sebelum Ujian:(

Hamdulillah wa Hadza min fadhli Rabbi...:)

Sejak kapan yah aku selalu KO menjelang ujian?. Ehmm...

Yapz2...Sejak SD kelas Satu. Ibu selalu mengingatkanku, "Mit, sadar nggak kalo tiap kali menjelang Ujian, Mita pasti sakit", pertanyaan yang baru ku dengar setelah beberapa tahun aku mengalaminya. Tapi dengan senyum termanisya, Ibu tak pernah berhenti membuatku Yakin atas segalanya. "Nggak apa-apa ya Nduk, InsyaAllah pasti ada hikmahnya. Siapa tahu nanti gantinya, hasil ujian Mita bagus dan ilmunya bermanfaat, ya nggak?, sekali lagi she always makes me feel, like i can do anything.
My Mum is Amazing :)

Hemm...
its OK...
"Just Speedy Recovery ya Mit"
Be Sure that Allah knows

GOODLUCK




Kembali ke JUJUR

Ternyata memang menyenangkan

Namun, satu hal yang pasti

JUJUR tak harus terngkap bukan:)

LOKAKARYA 12-13 April 2008

LOKAKARYA 12-13 April 8

Sebuah gebrakan, ide cemerlang dari Bapak Dubes yang inisiatif, Abdurrahman Muhammad Fakhir. Muktamar dengan tema “Pola Pembinaan efektif untuk mendukung prestasi masisir” di adakan besar-besaran dengan menghadirkan lebih dari 50 stakes holder Indonesia ke Mesir dan berlokasi di gedung ACC (Azhar Conference Centre). Meskipun ada beberapa kontroversi sebelum pelaksanaan acara ini, baik yang menyangkut besarnya dana yang di keluarkan, ataupun sekedar implikasi dari ketakutan mereka jika nantinya Lokakarya hanya akan menjadi sebuah wacana dan event besar tanpa atsar signifikan. Namun terlepas dari itu semua, selalu tak ada yang salah dengan mencoba untuk menjadi lebih baik, apapun resikonya. Justru bukan sesuatu yang bijak ketika kita membiarkan sebuah masalah menjadi stagnan tanpa berpikir untuk melakukan perubahan.

Menarik apa yang di katakan oleh Bpk. Din Syamsuddin, ketua PP Muhammadiyah. A M Fakhir, “ini Dubes baru, dan ini baru Dubes”. Sepertinya Pak Din memang tidak salah menyebut beliau begitu. Bijak, cerdas, tegas serta performance yang ramah dengan tanpa menanggalkan wibawanya, membuat beliau layak mendapat sebutan itu.

Konsekuensinya (baca: Lokakarya) yang besar, tidak menghalangi beliau untuk tetap merealisasikan acara ini, sebab Lokakarya merupakan ajang menyatukan presepsi untuk mencari solusi serta aplikasi dengan langkah konkret yang di inginkan.

Hanya saja, ada beberapa hal yang sangat di sayangkan. Di antaranya, ketidak hadiran beberapa stakes holder penting pada acara inti, Sidang komisi dan Sidang Pleno. Nampaknya, kekhawatiran beberapa rekan mahasiswa sebelumnya, tidak bisa sepenuhnya di salahkan. Pertanyaan sederhana namun layak untuk di utarakan adalah, “Kemana mereka?” dan “Untuk apa mereka ke Mesir?”. Meskipun –seandainya- absen tersebut berhubungan dengan hajat Negara ataupun yang lainnya (baca: pribadi), mengingat urun ide mereka pun sangat penting disini.

Whatever, mufakat telah di capai. Satu harapan kita semua. Semoga Lokakarya benar-benar menjadi langkah awal untuk revolusi akbar Masisir serta tidak hanya menjadi sebuah catatan sejarah tanpa ada langkah konkret serta perubahan yang signifikan.


Kita mulai dengan Bismillah…Bi Idznillah…Lillahita’ala…!!!
Ya Allah…berikan yang terbaik untuk kami semua (Terutama para Masisir), amin.

Selasa, 15 April 2008.


Impian yang mana?

kata orang, semua berawal dari impian
memang apa yang berawal dari impian?

Cita?
Masa Depan?
Idealisme?
Cinta?

Yang mana?

Bermimpi yang bagaimana maksudnya?

Saat mencoba untuk membentuk sebuah idealisme
Pikiran seakan berjalan searah
Semua seakan mulus

Selalu tak ada dengan mencoba
tapi satu hal yang tak boleh ternafikan
KENYATAAN

Akankah dia berjalan searah?

Wallahua'lam

Tapi yakinlah...
Tuhan selalu tahu apa yang terbaik untuk kita, his slave
[regards]

Hanya Ingin Bercerita Saja!

Aku sedang ingin bercerita
Bercerita tentang apa dan siapa
Bercerita tentang mengapa dan karena
Bercerita tentang kapan dan dimana
Bercerita tentang apapun

Tapi aku bingung
Mulai dari mana
Dari mana aku harus memulai

Aku tak tahu apa yang harus ku ceritakan
Yang ku ceritakan itu apa?
Lalu aku harus cerita tentang apa?
Ah...apa yah yang harus aku ceritakan

Dan
Akupun tak tahu harus bercerita tentang siapa
Yang ku ceritakan itu siapa?
Lalu aku harus cerita tentang siapa?
Ah...siapa yah yang harus aku ceritakan

Lalu
mengapa aku ingin bercerita
Aku ingin bercerita, mengapa?
Ah...aku tak tahu mengapa ku ingin bercerita

Hmm...
Karena, aku ingin bercerita

Kapan aku bercerita
Aku tak tahu kapan aku ingin bercerita
yang aku inginkan
hanya bercerita

Yah...
boleh lah dimana-mana
tapi dimana aku boleh bercerita
Yang pasti ku hanya ingin bercerita saja

Apapun
yang ku cari hanya satu

Sang Pendengar
[regards]

Edisi FAREWELL for Sabiek

Sepertinya ini benar-benar malam terakhirku di Sabik :(.

Hiks...its hard to say goodbye for...

[1] My beloved Babah.

Yang super baik. Subhanallah...nemuin babah sebaik itu dimana lagi coba???. Nggak pernah resek, baik, percaya banget ma kita serumah, orangnya juga sabar. Kayaknya kita deh yang musti minta maaf banget ma beliau. Nggak tega waktu pamit mau ninggalin rumah. Dah banyak spekulasi plus mikir solusi n alternatif, kali aja nanti bakal bermasalah waktu izinnya. Takut nggak boleh lah, takut ta'min nggak balik lah', harus nyelesain akad mpe setahun lah ato de el el. Coz, yang bikin kita paranoid, cerita temen-temen yang pada nggak boleh tuan rumahnya ninggalin rumah, konsekuensi ta'min nggak balik plus disuruh bayar sisa bulan dari akadnya, GUBRAKKK...hiks, ampun deh!:).

Ternyata, fiiuuuh...nggak seperti yang di bayangin. Belom apa-apa beliau malah yang minta maaf ma kita-kita. Takut kita yang nggak nyaman ma rumahnya, ato ada tetangga yang resek.
Subhanallah...:D
Bener-bener beloved Babah, jazakumullah!

(2) My Beloved n Sweetest home.

Fiiuuuhh...My "Blue house"=> "Rumah lorong"=> "Asrama kedua" (buat temen-temen yang pada agaza), malisy lah...ga bisa agaza lagi disini. ASLI...enak banget tinggal disini. Banyak kenangan. Dari pertama susahnya cari rumah ma Najah dan temen-temen yang bantuin. Renovasi sebulan. Makan barengan satu nampan ma temen-temen serumah sampe jadi basecam orang-orang. Wuih...seru deh pokoknya.

Hemm...anyway, makasih buat blue house yang dah menjadi tempat ku mengukir banyak kisah cantik bareng temen-temen cantikku juga (weks...narsis). Makasih dah hampir satu setengah tahun menjadi surgaku di kairo. Makasih telah biarkanku tidur nyenyak. Dan makasih telah biarkanku nyaman.
Thanks for everything. jazakallah!
(3) Ahmad, Babah Fatkhi and tumpangan internetnya.

Hemm...nyadar nggak kalo kalian dah jadi solusi Tuhan buat kita?. Saat kita serumah bingung harus cari media komunikasi termudah (Telpon n internet), kalian datang dengan kesediaan kalian. Dengan sikap welcome kalian ke kita. Nganggep kita seperti anak kalian.
Maaf kalo kita sering terlambat bayar internet. (Males ke atas seh, :D). Tapi tanpa ada adegan marah-marah, malah kalian rela turun nyamperin buat ambil uangnya, he3x. Subhanallah...:).
Dengan bantuan kalian, kita serumah jadi betah disini. Kita bisa belajar dari internet, kencan dengan mbah google, download lagu-lagu, nonton ato sekedar chating buat ngilangin stress. Ummm...its so nice. Jazakumullah!
(4) Syarief => 'Kawafir'
Hemm...tetangga yang ramah n baik. Nggak pernah macem-macem. Suka bantuin kalo lampu kita mati (he3x). Nggak pernah telat senyum kalo lihat salah satu dari kita lewat depan tokonya. Makasih banget dah berbagi listrik ma kita. Kayaknya gara-gara itu juga, bayarnya jadi berkurang:D.
Rabbuna yusahhil deh yah. Moga-moga rezekinya lancar buat Syarief. Tokonya laris:). Dan jazakumullah!
(5) Tukang Ashir sabik
Hemm...nantinya aku nggak bakal sering ketemu kalian lagi deh kayaknya. Hiks...:(
Tiap aku lewat. Kalian nggak pernah telat negor aku. Makasih banget. Meskipun seribu kali kalian nanya namaku sapa (gubrakkk...mesir2, nggak hapal2). Tapi senyum kalian tak pernah absen mengantar perjalananku, entah ke asyir ato yang laennya. Makasih yah...



Kalian paling seneng kalo lihat aku bawa buku, plus lihat aku lagi belajar di halaman toko kalian. Bis gitu, doa kalian nggak pernah telat buat aku. Aku selalu inget "Ya Zahra, khalasti imtihan?". bis gitu, pasti bilang "Rabbuna yunajih, rabbuna yusahhil". Sekilas do'a kalian memang sederhana. Tapi kalian nggak sadar, Allah mendengar ketulusan kalian, dan terbukti pada tahun keduaku kemarin. Jazakumullah!



(6) Ashraf => Salah satu personil Syabrowy
He3x, manusia penuh senyuman ini selalu bikin kita ketawa kalo dah mampir ke Syabrowy. gara-gara keseringan beli Tho'miyah bil Bidl, dia jadi hapal ma kita-kita. Tapi yang paling seru, dia paling nggak bisa ng'bedain aku sama Ook. Biar ratusan kali ketemu (weks, ratusan???:P), dia tetep aja bingung nentuin yang mana Laila (Ook-red), dan Zahra (Nama Mesirku:D). Hahaha...Asyraf yang lucu. Aku nggak tahu, bakal sesering apa aku ketemu ma dia nantinya. But its, ok. I will be coming there anytime;).

Sekali lagi, terimakasih buat kalian semua.
Kalian telah menjadi bagian dari skenario cantik Tuhan untukku:)
jazakumullah...!
[regards]

* Last moment in My beloved Blue house. 21.30
Sengaja ku tulis edisi FAREWELL, sekedar membuat sejarah. Agar kisahku tak terlupakan:).

Naskh dalam al-Qur'an

Membincang Legalisasi, relevansi serta eksistensi teks eliminatif[1]
(Tela’ah kritis ulama-ulama kontemporer)
Oleh: Maramita elfani[2]

Prolog

Tidaklah Kami hapus (naskh) suatu ayat atau melupakannya, kecuali Kami datangkan yang lebih baik dari sejenisnya. Tidaklah engkau tahu bahwa sesungguhnya Allah kuasa atas segala sesuatu”. (QS 2: 106)

Nasikh Mansukh, salah satu cabang ilmu-ilmu al-Qur’an yang menuai banyak kontroversi dari pelbagai kalangan, baik dari para jurisprudent atau pemikir-pemikir keislaman lainnya. Sebuah terma yang sampai saat ini masih hangat untuk di perbincangkan, bahkan sesuai dengan perkembangannya, semakin banyak polemik yang muncul berkaitan dengan terma nasikh mansukh itu sendiri, terutama yang menyangkut eksistensi ayat al-Qur’an yang di nyatakan terhapus oleh beberapa kalangan muwafiqin.

Tak akan ada yang menyangkal jika dikatakan bahwa al-Qur’an merupakan kitab kamil dan komphrehensif. Al-Qur’an bukan sesuatu yang kontroversial. Nilai sakralitasnya pun tampak jelas. Jika selama ini kita temui berbagai masalah yang berkaitan dengan al-Qur’an, baik dalam interpretasi atau media interpretasinya (Baca: Cabang-cabang Ilmu al-Qur’an), maka sebenarnya itu hanyalah hasil olahan para subyek pengkajinya yang mempunyai inklinasi world view yang berbeda saja, sehingga memunculkan pemikiran yang berbeda pula.

Al-Qur’an merupakan literatur sejarah, dengan tanpa menanggalkan nilai sakralnya sebagai wahyu dan kalam ilahi. Tentu saja, karena sebagian esensi hukum atau doktrin-doktrin agama, serta mashlahah terkemas cantik dalam bingkisan histori yang terangkai rapi di dalamnya. Dalam hal ini, asbab al-nuzul mempunyai peran penting dalam pengkajiannya, yang juga merupakan starting point dalam pembahasan terma Nasikh Mansukh. Seperti halnya yang di ungkapkan Nasr hamid Abu Zayd dalam karya monumentalnya Mafhum al-Nash, bahwa nasikh mansukh sangat berkait kelindan dengan pemahaman atau pengetahuan tentang asbab al-nuzul serta tartib al-ayat, meskipun dalam pelacakannya bukan merupakan sesuatu yang mudah, sehingga terkadang untuk menentukan jumlah ayat nasikh (yang menghapus) dan mansukh (yang di hapus) kerap mengalami kesulitan.

Dalam perkembangannya, muncul berbagai polemik yang sepertinya tidak ada titik final sebagai konklusi. Diantaranya, legalisasi Nasikh Mansukh itu sendiri, yang mana telah jamak kita ketahui, tidak semua ulama sepakat dengan adanya terma ini. Kemudian ketika kita melihat Nasikh Mansukh sebagai proses eliminasi atau penghapusan ayat serta hukum dalam al-Qur’an, maka tidak menutup kemungkinan akan muncul vonis negatif –Tuhan tidak konsisten atau “plin-plan”- terhadap Allah SWT, sebagai subyek dari tindak pemberhentian masa berlakunya hukum bagi mukalaf.

Dengan tidak memperbanyak bahasan normatif, penulis akan mencoba untuk masuk pada bahasan polemik yang muncul berkaitan dengan nasikh mansukh.

Definisi

Secara etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti, antara lain pembatalan, penghapusan atau eliminasi, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan sebagainya, dinamai nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamai mansukh.[3]

Dalam segi terminologi, ternyata interpretasi ulama berbeda-beda antara ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin. Cakupan makna yang di usung ulama mutaqadimin, di antaranya Pembatalan hukum yang di tetapkan terdahulu oleh hukum yang di tetapkan kemudian, pengecualian hukum yang bersifat umum (‘am) oleh hukum yang lebih khusus yang datang setelahnya (Khas), bayan atau penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar, ataupun penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat Pada intinya, ulama mutaqadimin mengusung makna naskh secara luas, yaitu tidak terbatas pada berakhirnya atau terhapusnya suatu hukum, disebabkan adanya hukum baru yang di tetapkan. Namun, interpretasi naskh yang di usung oleh mereka juga menyangkut hukum yang bersifat pembatasan atau pengkhususan bahkan pengecualian.

Berbeda dengan cakupan makna yang di katakan oleh para ulama muta’akhirin. Jika memperhatikan interpretasi ulama mutaqadimin, maka hal ini akan berujung pada sebuah kerancuan antara makna naskh, takhsis, qayad istisna’ bahkan bada’. Padahal, antara naskh dan yang tersebut di atas mempunyai perbedaan yang mendasar. Naskh dengan takhsis misalnya. Letak perbedaan antara keduanya ada pada “pembatalan”. Jika Naskh merupakan proses eliminasi suatu hukum oleh hukum yang datang setelahnya. Maka Takhsis hanyalah sebuah spesifikasi hukum tanpa menanggalkan eksistensi ayat sebelumnya. Atau naskh dengan bada’. Letak perbedaan antara keduanya ada pada “pengetahuan” sang subyek atas obyek (Nasikh Mansukh). Karena, Bada’ merupakan proses peniadaan hukum dengan tanpa adanya faktor kesengajaan, atau dengan kata lain, sang subjek belum mengetahui akan adanya penghapusan hukum tersebut. Oleh karenanya, para ulama muta’akhirin mempersempit cakupan makna naskh dengan mendefinisikannya sebagai amandemen sebuah ketentuan hukum atau berakhirnya masa berlakunya ketentuan hukum oleh hukum yang datang kemudian.[4]

Lain halnya dengan konsep yang di usung Muhammad Syahrour. Agaknya dia sependapat dengan tokoh kontroversial kita, Nasr Hamid Abu Zayd. Dengan mengatakan bahwa, sejatinya naskh adalah sebuah penangguhan hukum, bukan amandemen ayat secara mutlak. Dari sini, nampak penolakan Syahrour terhadap konsep yang di gagas oleh ulama-ulama konvensional.
Starting point terma Naskh
Tentunya dalam hal ini, kita harus membedakan antara gerak kultural nasikh mansukh dengan termanya. Sejatinya, terma nasikh mansukh muncul pasca kenabian, sedangkan gerak kultural dari terma ini ada sejak zaman kenabian itu sendiri. Ada beberapa hal yang menyebabkan terbentuknya sebuah konsep yang dianggap begitu problematik oleh sebagian kalangan. Dalam konsep nasikh mansukh, para ulama berpegang pada dua teks; Makkiyyah yang bersifat universal di sandingkan dengan teks Madaniyyah yang partikular.

Lalu yang menjadi starting point munculnya terma abrogasi ini adalah adanya asumsi kontradiksi ayat oleh orang-orang Makkah. Dan esensi ayat yang tidak sama itu seakan mengakibatkan kebingungan dari para ulama dalam aplikasinya. Ironisnya, tuduhan-tuduhan semacam itu (baca: kontradiksi) memunculkan stigma negatif tentang Nabi Muhammad Saw, yang beliau adalah seorang pembohong. Namun, sebenarnya ungkapan seperti itu muncul akibat bias subyektifitas mereka. Seperti halnya, ketika membincang alasan keberatan mereka atas di anulirnya teks riba yang merupakan kebiasaan orang-orang jahily dulu. Tentu saja hal ini mecuatkan respon negatif dari orang-orang Yahudi, mengingat riba merupakan sumber kekuasaan mereka atas gerak masyarakat. Maka tak heran ketika ada teks yang sama, yang menjanjikan balasan kebajikan hingga tujuh puluh kali lipat oleh Allah, muncul pulalah sebuah ungkapan yang seakan-akan menyudutkan-Nya, “Kami heran dengan Tuhan Muhammad, bagaimana Dia mengharamkan riba dan memberikannya kepada kami”.

Demikian juga, ketika ada instruksi Allah tentang perubahan arah kiblat ke Ka’bah yang sebelumnya berporos pada baitul Maqdis. Sekali lagi orang-orang Yahudi tidak setuju dengan hal ini, salah satu motif mereka adalah arogansi Yahudi dalam asumsinya bahwa dengan menghadapnya masyarakat ke arah bait al-Maqdis, berarti mereka telah mengekor orang-orang Yahudi.[5]

Ada beberapa hal yang harus di perhatikan dalam menentukan nasikh dan mansukh. Diantaranya adalah dengan memperhatikan kronologi turunnya al-Qur’an. Sebab, nasikh mansukh erat kaitannya dengan asbab al-nuzul, terutama dalam menentukan mana ayat yang berperan sebagai eliminator (yang lebih akhir turun) dan mana ayat yang di nyatakan teranulir (yang turun sebelumnya). Dan tentunya, ayat-ayat yang di ambil mempunyai gejala kontradiksi yang mana tidak mungkin adanya penggabungan antara keduanya. Kemudian, para ulama juga mengatakan bahwa area naskh hanya sebatas pada ayat-ayat yang merujuk pada perintah atau larangan saja.

Menelisik lebih jauh tentang terma ini. Kita akan di hadapkan kepada beberapa polemik panjang, yang memperlihatkan begitu besarnya nilai kontroversial terma ini, yang mana berbanding seimbang dengan pemikiran subjektif setiap ulama yang mengusung pendapatnya masing-masing. Diantaranya, perdebatan seputar Legalisasi naskh ayat al-Qur’an yang mana disini mempunyai keterkaitan dengan nilai relevansi ayat-ayat yang oleh sebagian ulama di nyatakan teranulir. Selain itu, masalah yang berhubungan dengan salah satu pola Naskh, yaitu amandemen ayat al-Qur’an oleh Sunnah. Lalu, terlepas dari distorsi pemikiran yang telah berkembang, eksistensi teks al-Qur’an pun turut menjadi sebuah pertanyaan dalam wacana khazanah keislaman.

Legalisasi naskh; Problematika polemis

Tidak semua ulama mengamini legalisasi Nasikh Mansukh. Terlebih ulama-ulama kontemporer yang notabene lebih banyak berperan dalam proses liberalisasi al-Qur’an. Dalam hal ini, penulis akan memetakan menjadi tiga kelompok. Pertama, Kelompok yang berpendapat tentang kemutlakan adanya Nasikh mansukh dalam al-Qur’an. Umumnya pendapat ini di pegang oleh ulama-ulama klasik, para ulama ushuluyyin serta teolog-teolog Islam, baik dari kalangan Asy’ary ataupun Mu’tazilah. Sebut saja, Imam empat madzhab, Syeikh Ali Jum’ah, al-Ghozali, al-Baqilani, Ibn al-katsir dan lain-lain.

Surat al-Baqarah 106, “Kami tidak me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”, merupakan salah satu dalil naqli untuk menjustifikasi pendapat mereka. Mereka menarik ayat yang di yakini sebagai prinsip dasar, dengan interpretasi “ayat” yang merupakan ketentuan-ketentuan hukum.
Mereka menganggap tak ada alasan logis untuk menafikan adanya naskh-mansukh dalam al-Qur’an. Secara nalar, bukan sesuatu yang aneh dan mustahil saat kita mengatakan bahwa Allah Swt mengamandemen ayat-ayat yang di turunkannya. Pergantian syariat atau hukum yang menjadi landasan bagi manusia, justru menunjukkan elastisitas implementasi substansi yang di usung, karena di sesuaikan dengan dhuruf yang ada saat ayat itu berlaku.

Ungkapan ini senada dengan apa yang diutarakan oleh Ibn Katsir dalam kitabnya tafsir al-Qur’an al Adzim, ketika mengcounter orang-orang Yahudi yang bersikeras ingin mempertahankan ajaran-ajarannya, dengan dalih sebuah kemustahilan jika Allah Swt menganulir hukum-hukum yang telah di tetapkan dalam Taurat. Beliau mengatakan, "Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkanNya."[6]

Kedua, kelompok yang menolak adanya Nash secara Mutlak. Diantaranya, Abu Muslim al-Asyfihani, Muhammad Abduh, Muhammad Abid al-jabiry, Abdul Muta’al Muhammad al-Jabiry, dan lain-lain. Kelompok ini secara frontal membalikkan alasan yang dikemukakan oleh para pendukung naskh (baca: kelompok pertama). Jika para ulama (pendukung naskh) berpendapat bahwa nalar tidak melarang adanya naskh Mansukh dalam al-Qur’an, maka sebaliknya. Seperti yang di kemukakan oleh Abdul Muta’al Muhammad al-Jabiry dalam bukunya La Naskha fi al-Qur’an, limadza?, bahwa sesuatu yang rasional tidak selalu mengindikasikan kepada hal-hal yang bersifat konkret. Pun dalam hal ini, meski secara nalar tak ada yang menghalangi adanya naskh dalam al-Qur’an, namun juga tidak mengharuskan adanya wujud konkret (al-wujud al-fi’ly) nya.[7]

Sebab lain munculnya pro dan kontra ini adalah, perbedaan interpretasi pada lafadz “ayat” dalam surat al-Baqarah 106. Jika ulama klasik menginterpretasikan kata “ayat” sebagai nash atau ayat al-Qur’an itu sendiri. Berbeda dengan makna yang di usung oleh ulama-ulama kontemporer yang masuk pada klasifikasi kedua ini. Seperti Muhammad Abid al-Jabiry dan Muhyiddin Abu Bakar ibn Araby yang di amini oleh Muhammad Abduh, lafadz “ayat” yang di maksud adalah mu’jizat. Sehingga makna yang di hasilkan adalah penghapusan mu’jizat dengan adanya mu’jizat yang muncul setelahnya. Dan itu merupakan salah satu gerak kultural dan natural. Seperti saat lenyapnya malam karena adanya siang, ataupun sebaliknya.

Berbeda dengan interpretasi yang di gagas oleh Abdul Muta’al Muhammad al-Jabiry dalam penolakannya terhadap Nasikh mansukh. “Ayat” disini di artikan sebagai syari’at. Sehingga, Naskh yang di maksud adalah Naskh syari’at terdahulu dengan syari’at Nabi Muhammad Saw yang notabene lebih sempurna dan relevan fi kulli zaman wa al-makan. Jadi, jika dikatakan ada naskh dalam al-Qur’an maka itu adalah pendapat batil.

Dan kelompok yang terakhir adalah kelompok yang mengamini terma ini, hanya saja dengan konsep yang berbeda dengan apa yang di utarakan oleh ulama konvensional. Atau mungkin dengan redaksi lain, yaitu kelompok yang menolak naskh tidak secara mutlak, namun menawarkan konsep baru. Sebut saja, Muhammad Syahrour atau Nasr Hamid Abu zayd. Jika konsep yang di usung oleh para ulama klasik adalah sebuah amandemen ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat yang turun setelahnya, maka konsep dasar yang di pake oleh kelompok ini adalah, naskh dengan makna “penangguhan” hukum. Yang mana hal ini mempunyai keterkaitan yang erat dengan relevansi ayat-ayat yang di nyatakan teranulir oleh sebagian ulama. Pasalnya, menurut mereka, sebenarnya tidak ada ayat al-Qur’an yang teramandemen. Maka, ayat-ayat yang di nyatakan mansukh oleh sebagian kalangan, secara otomatis akan bisa di tarik kembali untuk di aplikasikan lagi. Masing-masing mempunyai area sendiri. Maka, saat ayat-ayat tersebut di pandang perlu dan sesuai dengan kondisi yang ada, maka penarikan kembali ayat-ayat itu akan mendapat legitimasi pula.

Masing-masing kelompok mempunyai landasan yang cukup rasional dalam menuangkan pendapat mereka. Namun, inklinasi subjektif penulis lebih kepada pendapat ketiga yang menginterpretasikan kata naskh dengan penangguhan. Dengan memperhatikan salah satu fungsi naskh –seperti yang di ungkapkan Nasr hamid Abu Zayd dalam kitabnya Mafhum al Nash- sebagai penahapan dalam tasyri’ dan pemberian kemudahan, maka tidak di sangsikan bahwa tetap di tampilkannya teks-teks mansukh oleh realitas, apabila kondisi yang di hadapi kembali pada keadaan semula, sehingga mendukung dalam aplikasi teks tersebut. Namun, tentu saja penulis tidak mengamini begitu saja pendapat ini, sebab ada sebuah kekhawatiran yang masuk list pertimbangan. Dengan legitimasi pendapat ketiga, di khawatirkan akan muncul sebuah paradigma praktis yang tentu saja implikasinya ada pada aplikasi teks secara sembarangan. Dengan dalih elastisitas hukum Islam, akan berpengaruh kepada nilai sakralitas al-Qur’an yang kemudian menjadi tercabik. Sebab, tidak menutup kemungkinan aplikasi itu hanya sebagai justifikasi sederhana dari sebuah tindakan tanpa memperhatikan urgensitas reaplikasi. Tapi di sisi lain, tak ada yang salah dalam reaplikasi ayat saat hal itu benar-benar di butuhkan.

Al-Qur’an vs al-Sunnah

Telah maklum, bahwa di antara empat mashadir al-ahkam dalam Islam, yang mendapat porsi naskh hanya ada dua, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah –khususnya bagi para pendukung Naskh-. Ada empat klasifikasi, yaitu (1) Naskh al-Qur’an dengan al-Qur’an. (2) Naskh al-Sunnah dengan al-Sunnah. (3) Naskh al-Sunnah dengan al-Qur’an (4) Naskh al-Qur’an dengan al-Sunnah. Untuk poin I, 2, 3 , sepertinya kita tidak perlu membahas lebih jauh lagi. Karena para ulama pun telah sepakat dalam legitimasinya. Yang menjadi perdebatan adalah poin terakhir. Ketika al-Qur’an di hadapkan dengan Sunnah, yang mana Sunnah berposisi sebagai eleminator. Maka mengiringi perdebatan legalisasi naskh itu sendiri, masalah ini pun turut meramaikan polemik seputar naskh.
Pro dan kontra meramaikan perdebatan ini. Di antara ulama yang melegitimasi naskh al-Qur’an dengan sunnah adalah Imam Malik, Abu hanifah dan para teolog baik Asy’ary ataupun Mu’tazilah. Sekali lagi, alasan yang di kemukakan menyangkut rasionalitas realisasinya. Secara rasio tidak ada yang menghalangi legalisasi sunnah menganulir hukum dalam al-Qur’an. Selain itu, mereka menganggap keduanya merupakan satu dalam wahyu. Seperti yang tertuang dalam al-Qur’an bahwa apa yang keluar dari Nabi merupakan wahyu “Dan tiadalah yang di ucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS 53:2, 3).
Lain halnya dengan ulama yang melarang adanya naskh al-Qur’an dengan sunnah. Misalnya, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Statemen Allah Swt kepada Nabi yang termaktub dalam surat al-Nahl 44 “Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”, menjadi salah satu hujjah mereka. Menurut mereka, ayat ini sudah cukup jelas menegaskan tugas serta fungsi Nabi sebagai interpreter al-Qur’an saja, bukan sebagai eliminator. Di samping itu, mereka menempatkan posisi sunnah sebagai far’un (baca: cabang) yang mana di tetapkan oleh asl (baca: al-Qur’an) tentang kehujjahannya. Dan tentu saja, mustahil Far’un menganulir Asl.
Yang menarik disini, adanya tarik-menarik ayat yang di gunakan sebagai dalil. Jika sebelumnya surat al-baqarah 106 di gunakan untuk menjustifikasi mereka yang mengingkari naskh secara mutlak. Di sisi lain, ayat ini juga berperan penting dalam memperkuat pendapat yang mengingkari adanya naskh al-Qur’an dengan sunnah. Bisa kita lihat dari penafsiran mereka dalam lafadz-lafadznya. “Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya”, dengan kata kunci “lebih baik”, ide-ide penolakan itu muncul. Sebab, secara umum telah mafhum bahwa sunnah tidak lebih baik, bahkan untuk sekedar berjejer pada barisan yang sama dengan al-Qur’an. Kemudian “kami datangkan” pun ikut andil disini. Lafadz ini merupakan sebuah penegasan atas subjek yang berhak menaskh, yang dalam hal ini adalah Allah Swt. Terlebih jika kita membumikan aksi redefinisi sunnah oleh Syahrour, yang mana sunnah hanya diartikan sebagai peran nabi dalam mentransformasikan ajaran “mutlak” menuju ajaran “nisbi” sesuai tuntutan-tuntutan sosio-religius abad ke-7 M.

Hujjah mereka memang terkemas apik pada zona masing-masing. Hanya saja, sedikit menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada alasan yang cukup prinsipil untuk menafikan peran sunnah dalam proses abrogasi al-Qur’an. Sebab sunnah yang mengamandemen al-Qur’an juga mempunyai identitas penting, yaitu mutawatir. Selain itu, jika di kembalikan kepada definisi sunnah yang di kemas oleh ulama klasik, yang merupakan semua perkataan, perbuatan, dan ketetapannya. Maka, bisa dikatakan Sunnah pun mempunyai porsi sebagai hujjah, bahkan sebagai pihak yang menganulir teks. Meski, dengan pembacaan sederhana, sangat mustahil jika anak buah mengambil atau turut menentukan kebijakan yang di ambil sang pimpinan. Namun, dalam masalah ini, kita tidak bisa menafikan substansi yang di usung oleh sunnah itu sendiri. Secara konkret bisa kita lihat dari beberapa potongan ayat tentang wasiat, klasifikasi halal dan haram untuk bangkai, dan lain sebagainya.

Dalam potongan surat al-baqarah 240 “hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya”, telah di nyatakan mansukh oleh Sunnah Nabi “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”. Dengan pembacaan sederhana juga, substansi yang terkemas dalam Sunnah ini memang aplikatif. Dan telah menjadi kesepakatan bahwa hukum wasiat yang berlaku saat ini senada dengan yang di jelaskan dalam Sunnah. Pun dalam masalah klasifikasi bangkai yang di haramkan misalnya. Dalam al-Qur’an surat al-Maidah 3 “Di haramkan bagi kamu (memakan) bangkai, darah…”. Secara literal, bangkai dan darah akan mencakup semua jenis. Sunnah datang untuk menjelaskan serta menganulir teks tersebut, dengan redaksi yang menunjukkan bahwa ada dua bangkai yang di haramkan, yaitu Ikan dan Belalang. Sama halnya yang terjadi pada redaksi darah dalam ayat ini. Oleh sunnah di jelaskan, ada dua darah yang di halalkan, hati dan limpa.[8]

Dari substansi aplikatif disana, bisa di simpulkan kemungkinan Sunnah menasakh teks. Sebab, sekali lagi, keduanya sama dan satu dalam wahyu. Jika yang di permasalahkan adalah siapa pelaku dari naskh itu. Maka sebenarnya, ketika sunnah mulai mencoba mengotak-atik al-Qur’an, maka inipun merupakan indikasi dari tindakan Allah Swt. Hanya saja, mungkin yang perlu di perhatikan adalah kredibiltas dari hadits tersebut. Bukan berarti dengan legitimasi ini, bisa semena-mena mengambil sunnah yang masih di pertanyakan identitasnya. Selain itu, sunnah bukan bersumber dari tendensi pribadi dan subyektif Nabi, sebab ada esensi lain yang melekat disana. Di antaranya, relevansi sunnah itu sendiri dengan tuntutan kultural. Hal ini di amini oleh Nasr Hamid Abu Zayd dalam statemennya bahwa, al-Qur’an dan sunnah merupakan dua teks agama yang mempunyai beberapa hal yang membuat sunnah masuk pada strata di bawah al-Qur’an. Namun, mengesampingkan sunnah dalam interaksinya dengan al-Qur’an, maka itu berarti mengabaikan sisi penting dalam pemahaman sebuah teks. Karena penyetaraan antara al-Qur’an dengan sunnah tidak lebih bahaya dari mengesampingkan sunnah secara mutlak.[9]

Sebuah telisik eksistensi teks sakral

Kembali menelisik tentang terma ini, kita akan di hadapkan dengan sebuah pertanyaan tentang eksistensi teks al-Qur’an. Kita mengenal pola-pola naskh. Diantaranya, naskh teks tanpa hukum, naskh hukum tanpa teks dan naskh keduanya. Dari ketiga pola diatas, yang tidak menuai argumentasi dari pihak manapun (baca: pendukung naskh) tentang kesesuaiannya dengan konsep naskh, ada pada pola kedua. Hanya saja, mungkin akan muncul sebuah stigma, bahwa teks yang tertinggal hanya akan menjadi sebuah teks bisu tanpa faedah, selain sebagai pengingat akan anugerah Allah Swt dan pahala bagi yang membacanya saja. Pola seperti ini bisa kita temukan dalam 63 surat dalam al-Qur’an. Salah satu contoh adalah ayat tentang Iddah dalam surat al-Baqarah 234 dan 240. Namun, mungkin satu hal yang perlu kita perhatikan. Seharusnya, manusia berusaha berfikir cerdas dan sebagai salah satu bentuk positif thinking kita kepada-Nya, dengan melihat hikmah dari itu semua. Dengan tetap di munculkannya teks itu, Allah Swt menunjukkan satu hal yang sangat penting bagi manusia, yaitu sebuah proses. Sebagaimana yang terjadi dalam penahapan hukum sebagai upaya dispensasi Tuhan untuk manusia.

Sedangkan untuk pola pertama dan ketiga, ada beberapa hal yang memunculkan sebuah argumentasi skeptis. Yang mungkin saja itu adalah sebuah kekhawatiran adanya dugaan rearrangement teks setelah wafatnya Nabi. Seperti ayat susuan yang menjadi barometer vonis muhrim (yang termasuk dalam pola ketiga). Yang mana statemen itu muncul dari seorang Aisyah ra, yang justru menjadi sebuah boomerang dengan identitasnya sebgai hadits Ahad. Dan itulah salah satu faktor yang mendukung sikap skeptis namun tidak apatis dari ulama. Pasalnya, di dalam al-Qur’an tidak ada teks khusus yang mengungkap limit susuan untuk menetapkan hukum muhrim. Pun dalam pola pertama. Seperti ayat tentang zina dalam al-Qur’an, yang mana sebatas menyinggung antara pezina laki-laki dan perempuan saja, tanpa menyebutkan pernikahan sebagai label dalam menentukan hukuman yang akan di terima, yaitu antara cambuk dan rajam. Dan di sisi lain, hadits yang di riwayatkan dari Umar tentang statemen yang di adopsi dari Zayd bin tsabit, ketika hendak menulis mushaf menyatakan tentang status pelaku zina dan hukumannya.

Agaknya pengaruh kedua pola ini memang sedikit mengkhawatirkan. Dimana posisi teks yang tidak ada wujud konkretnya selalu di pertanyakan, baik itu orisinalitasnya ataupun tendensi yang di inginkan dalam penghapusan teks-teks tersebut.

Mashlahah; identitas utama Naskh

Sejatinya, kemashlahatan layak menjadi identitas utama dari naskh. Dan tentu saja hal ini sangat berkait dengan fakta historis gradualitas turunnya al-Qur’an. Mengingat, sebagian besar dari ayat al-Qur’an turun dalam konteks historis yang berbeda.

Telah jamak kita ketahui, bahwa naskh merupakan salah satu bukti adanya sebuah dialektika antara teks dan realita. Teks hanya akan menjadi sebuah teks bisu jika tidak mempunyai sifat aplikatif. Maka seiring dengan adanya perubahan kondisi sosio-kultural manusia, maka seakan menjadi sebuah keniscayaan adanya perubahan hukum teks yang menjadi pedoman kehidupan mereka.

Banyak hikmah yang bisa kita ambil dengan adanya nasikh mansukh. Dalam Syari’at agama misalnya. Seperti kita ketahui, bahwa syari’at terakhir yang telah menasikh syari’at yang di usung oleh para Nabi sebelumnya, merupakan syari’at yang komprehensif dan paling kamil. Substansi yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw telah merangkum semua yang ada pada syari’at sebelumnya.

Allah memberikan sebuah dispensasi (takhfif) kepada manusia melalui konsep ini. Mengingat masa transisi histori berpengaruh besar pada perjalanan teks agama, untuk menjadi sebuah pedoman yang ideal dan shalih lukilli zaman wa al-makan.

Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa: "Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah."[10]

Meski ada beberapa ulama yang tidak sependapat dengan konsep yang di ungkapkan ulama klasik seperti al-Maraghi, yang mana Naskh merupakan proses pendeletan hukum atau teks. Katakan saja Muhammad Syahrour atau Nasr Hamid Abu Zayd. Dengan konsep dasar bahwa naskh merupakan sebuah “penangguhan” hukum, yang di maksudkan adanya penahapan dalam syariat, sehingga disini kita tidak bisa semena-mena menafikan hukum-hukum atau teks-teks yang di nyatakan mansukh begitu saja. Namun, Sebenarnya semua mempunyai tendensi utama, dan semua akan berujung pada satu hal yaitu mashlahah.

Epilog

Dalam aplikasinya, dialektika antara teks dan realita merupakan satu hal yang urgen. Karena dari sini kita bisa melihat bagaimana elastisnya implementasi teks-teks yang identik dengan sakralitasnya. Naskh, merupakan sebuah terma polemis, yang oleh sebagian kalangan dipandang mampu merepresentasikan substansi al-Qur’an yang membumi. Meski berbagai argumentasi di lontarkan sesuai dengan peta pemikiran masing-masing, baik menyangkut legalisasinya, perbedaan konsep yang di usung oleh masing-masing pihak ataupun eksistensi teks agama tersebut. Namun di sisi lain, hanya ada satu tendensi disana, yaitu mashlahah. Sebab, disanalah eksistensi serta fungsi teks akan nampak.

Dan seperti yang telah di singgung sebelumnya. Naskh bisa di ibaratkan sebagai sebuah proses menuju kesempurnaan. Sebuah pendewasaan. Dan sebuah indikasi dari bijaknya keputusan Tuhan bagi manusia. Yang tentu saja, implikasinya adalah semakin berkualitasnya hubungan vertikal manusia dengan Allah Swt. Namun, apapun keputusan Tuhan, itulah skenario cantik-Nya untuk manusia.

Demikian sebuah makalah sederhana, seputar naskh yang bisa penulis sampaikan dalam diskusi kali ini. Ketika sesuatu di katakan sempurna, maka tak akan ada kritikan yang bisa terlontar. Namun, sekali lagi makalah ini cukup elastis untuk menerima kritik serta koreksi. Maka, dengan sajian apa adanya ini, penulis hanya berharap bisa di jadikan sebagai pengantar menuju tela’ah yang lebih kritis, dan semoga bermanfaat. Wallahua’lam. [ ]



Bibliografi

Al-Zarqany, Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-‘Irfan, juz II, Dar al-Hadits, 2001.
Qardhawy, Yusuf, Kaifa nata’ammalu ma’a al-Qur’an al-Adhim?, Dar al-Shorouk, cet.V, 2006.
Al-Ghaly, Hisyam Rusydi, Bi al-Hujjah wa al-Burhan La naskha fi al-Qur’an, al-Maktab al-Araby li al-Ma’arif, cet. I, 2005.
Al-Nuhas, Abi Ja’far, al-Nasikh wa al-mansukh fi al-Qur’an al-Karim, al-Maktabah al-Asyriyah, 2004.
Jum’ah, Ali, al-Naskh ‘inda al-Ushuliyyin, Enahdah Misr, 2005.
Zayd, Nasr Hamid Abu, Mafhum al-nash, al-Maghrib: Dar al-baidha’, Cet.VI, 2005.
Al-Jabiry, Abdul Muta’al Muhammad, la Naskha fi al-Qur’an limadza?, Maktabah Wahbah, cet. I, 1980.
Syahrour, Muhammad, al-Kitab wa al-Qur’an; Qira’ah Mu’ashirah.
Al-Qur’an dan terjemahannya.
[1] Makalah ini di presentasikan dalam diskusi FORDIAN, 28 Maret 2008.
[2] Penulis adalah Mahasiswi Universitas al-Azhar, Fak. Ushuluddin, Jur Tafsir, Tk III.
[3] Muhammad Abdul Adhim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, Juz II, Dar al-Hadits, 2001. Hlm, 146.
[4] Yusuf Qardhawi, kaifa nata’amalu ma’a al-Qur’an. Dar al-Shorouk, Cet.V, 2006, hlm 333.
[5] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash, Dar al-Baidha’. Cet VI, 2005. Hal 118.
[6] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an. Di kutip dari Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Sulaiman Mar’iy, Singapura, t.t.h., jilid I, hlm 151.
[7] Abdul Muta’al Muhammad al-Jabiry, La Naskha fi al-Qur’an, Limadza?, Maktabah Wahbah, 1980, hlm 15.
[8] Abu Ja’far al-Nuhas, al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Qur’an wa al-Mansukh. Dar al Namudzajiyyah, Hlm 269.
[9] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash. Dar al-Baidha’, Cet. VI, 2005, hlm 124.
[10] Dr. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an. Di kutip dari Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghy. Al-Halaby, Mesir, 1946 jilid I, hlm 187.