Selamat Datang di Kampung Maya Si Gadis Ceria

Pernikahan dini ... WHY NOT?

Pernikahan dini ...WHY NOT?


Dalam terminologi umum, pernikahan merupakan sebuah prosesi penyatuan dua jenis anak Adam yang berbeda dalam satu arena yang di sebut rumah tangga, dengan akad sebagai satu-satunya gerbang legalisasinya. Bahkan terkadang pernikahan juga di jadikan sebagai area aplikasi dari rasa sayang kita terhadap kaum tetangga. Pun merupakan sebuah terma yang hampir bisa di pastikan tidak pernah absen dari list impian setiap makhluk Tuhan yang paling sempurna ini.
Hanya saja, kita tak bisa menafikan sakralitas dari sebuah pernikahan. Pasalnya, untuk menuju pada tahapan ini, kita perlu menyiapkan banyak hal, baik yang bersifat materiil (lahir), seperti nafkah (terutama bagi laki-laki), tempat tinggal dan sejenisnya, maupun non-materiil (batin/ faktor-faktor psikologi). Maka tak mengherankan saat kita menemui sebuah statemen bahwa pernikahan merupakan awal dari segalanya atau bahkan tak jarang kita mendengar banyak kalangan yang mengatakan bahwa pernikahan adalah tahapan kehidupan yang sebenarnya.
Namun, lain halnya ketika kita menengok dimensi lain dari kehidupan sosial kita. Akan muncul varian opini tentang terma ini, ketika di lakukan pada usia-usia dini, atau yang di sebut pernikahan dini. Sebagian mereka ada yang pro dengan tindakan ini, namun ada juga kalangan-kalangan tertentu yang begitu antipati dengan hal ini.
Ada sebuah pandangan stereotip mengenai pernikahan dini. Selama ini pernikahan yang umumnya di lakukan oleh para pemuda/pemudi yang notabene belum siap untuk memasuki dan menjalani kehidupan berumah tangga, yang mana kedewasaan yang menjadi modal utama yang belum sepenuhnya mereka miliki, merupakan salah satu hal yang tabu.
Sejatinya, kata “dini” juga masih besifat relatif. Dini bagi satu orang bukan berarti dini bagi yang lain. Artinya ketika orang itu menganggap dalam usia kesekian seseorang masih dianggap terlalu dini untuk masuk ke jenjang pernikahan, belum tentu orang lain akan berpendapat sama. Hanya saja barometer dari kata “dini” itu sendiri masih terpacu pada pandangan umum yang berkembang dalam masyarakat. Umumnya, usia menikah bagi kaum pria berkisar sekitar 27-30 tahun, sedangkan wanita sekitar 22-25 tahun. Kurang dari itu dianggap belum memenuhi syarat (belum siap untuk menikah). Menilik dari hal ini, maka secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa para pelajar dan mahasiswa lah -meski tidak semua- yang menjadi objek sasaran (aktor utama) dalam kasus ini.

Motif-motif pernikahan dini

Terlalu dini mengambil sebuah kesimpulan tentang sesuatu, memang bukan hal yang baik. Semestinya statemen inipun berlaku dalam hal ini. Jangan terlalu dini memberikan vonis negatif terhadap pernikahan dini.

Alasan merupakan sesuatu yang lazim dalam pertanyaan. Lalu, mengapa banyak sekali fenomena pernikahan dini dewasa ini?
Banyak ‘karena’ yang harus kita perhatikan ketika melegitimasi pernikahan usia muda yang semakin membludak dewasa ini. Diantaranya;

Pertama, faktor ekonomi. Umumnya ini terjadi pada masyarakat yang tergolong menengah ke bawah. Biasanya berawal dari ketidakmampuan mereka melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Terkadang mereka hanya bisa melanjutkan sampai sekolah menengah saja atau bahkan tidak bisa mengenyam sedikitpun kenikmatan pendidikan, sehingga menikah seakan-akan menjadi sebuah solusi dari kesulitan yang mereka hadapi. Terutama bagi kaum hawa, di tengah-tengah kondisi ekonomi mereka yang sulit, para orangtua lebih memilih mengantarkan putri mereka untuk menikah, karena paling tidak sedikit banyak beban mereka akan berkurang. Tapi akan sedikit berbeda bagi anak laki-laki. Sebab, seperti yang kita ketahui, peran laki-laki dalam kehidupan berumah tangga sangatlah besar, sehingga bagi kaum adam minimal harus mempunyai ketrampilan terlebih dahulu sebagai modal awal membangun rumah tangga mereka.
Kedua, meminimalisir pergaulan bebas. Corak pergaulan remaja saat ini telah banyak menyimpang dari norma-norma yang ada, terutama norma agama. Pernikahan dianggap sebagai sebuah solusi atas apa yang acapkali ditimbulkannya. zina misalkan, sehingga tanpa disadari pernikahan hanya dijadikan sebagai justifikasi aktivitas seksual mereka.
Hal ini berkaitan dengan kondisi seksualitas pada remaja. Seperti yang dituturkan oleh Zainun Mu’tadin, SPsi, MSi. Pada makalahnya yang bertemakan pendidikan seksual remaja. Bahwasannya rasa ingin tahu mereka terhadap masalah-masalah seksual lebih tinggi, sebab pada masa ini remaja berada dalam potensi seksual yang aktif karena pengaruh hormon.
Ketiga, ambisi. Sekilas kata ini memang terlihat sangat tidak pantas untuk menjadi sebuah alasan suatu pernikahan. Namun, tak jarang ambisi menjadi salah satu faktor adanya pernikahan dini. Keinginan mereka untuk segera merasakan kehidupan berumah tangga membuat mereka mengambil keputusan yang terkadang tanpa dibarengi dengan pertimbangan-pertimbangan yang bijak. Ironisnya, kadang orientasi mereka bukanlah orientasi berumahtangga, namun lebih cenderung pada tendensi seksualnya saja. Inilah yang acapkali memunculkan dampak negatif yang sering kita temui.
Keempat, MBA (Married By Accident). Faktor yang keempat inilah yang selama ini identik dengan pernikahan dini. Tak jarang ketika orang mendengar tentang pernikahan dini, asumsi pertama yang muncul, MBA (Married By Accident) adalah penyebabnya. Dan memang fenomena yang sering kita dapati, hamil di luar nikah kerap menjadi alasan para remaja zaman sekarang melakukan pernikahan dini ini. Sungguh sangat disayangkan memang. Banyak generasi yang gagal membangun hidupnya hanya dikarenakan kesalahan mereka dalam memanage apa yang seharusnya mereka lakukan. Ketika mereka sudah dalam kondisi under control, rasio mereka kalah. Sehingga potensi kegagalan semakin besar, apalagi didukung dengan tingkat emosional mereka yang cenderung labil. Faktor inilah yang menjadi salah satu poros munculnya konotasi negatif.

Pernikahan dini? Why not?!

Tak bisa di ingkari, aplikasi pernikahan yang di lakukan di usia dini memang sering menimbulkan implikasi negatif yang berdampak pada buruknya citra pernikahan dini itu sendiri. Terlebih lagi, saat hal ini di hubungkan dengan Pendidikan para pelaku pernikahan dini yang sarat akan degradasi kualitas mereka. Meskipun hal ini bersifat particular, namun realita mengatakan itu dengan sangat jelas. Banyak sekali generasi masa kini yang Terjebak dengan kehidupan baru mereka. Di karenakan minimnya kesiapan psikologis mereka, untuk sekedar memenuhi tuntutan biologis yang sebenarnya sangat bisa untuk di temukan solusinya.
Namun tak ada salahnya kita ber khusnudzan dalam masalah ini. Kini, pernikahan dini tak hanya sebagai solusi bagi mereka yang tak bisa melanjutkan Pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Pun tak hanya sebagai solusi bagi mereka yang merasa kurang dalam kekuatan finansial. Pernikahan dini tak hanya di lakukan oleh kalangan primitif saja, sekarang para akademisi pun banyak melakukannya.
Sama ketika kita mengatakan bahwa Islam itu tak salah, hanya pemahaman dan aplikasi dari orang islam yang menyimpang lah yang sering menjadi pemicu isu miring tentang agama ini. Atau tasawuf misalkan, tak ada yang salah dengan tasawuf, hanya pemahaman dan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan konsepnya yang membuat banyak orang menjadi ill feel dengan kata itu. Pun terhadap pernikahan dini. Sekali lagi, tak ada yang salah dengan kata itu, hanya saja saat para pelaku tak melakukan konsep pernikahan dengan semestinya, maka kata “dini”itulah yang kerap menjadi kambing hitam dari kesalahan-kesalahan mereka.
Lalu tetap layakkah kita memicingkan mata kita dalam memandang pernikahan yang juga syarí ini. Dia bukan tabu, dia bukan menyimpang dari koridor agama. Dia tetaplah sah, dan dia tetaplah washilah untuk sampai kepadaNya. Bahkan pernikahan dini mempunyai satu peran penting dalam men ta’jil masa kedewasaan seseorang. Seperti yang di katakana oleh…ketika seseorang sampai pada usia remaja menuju dewasa, maka dua unsur manusiawi mereka; Akal dan nafsu (syahwat), tak berjalan searah dan seimbang. Peran nafsu mereka lebih dominan dari pada permainan rasio. Boleh jadi pernikahan menjadi salah satu obat mujarab untuk mengatasinya. Sebab saat rasio tidak mandominasi manusia, stabilitas emosi pun terkadang mendapat implikasinya. Seseorang yang telah melewati fase ini (pernikahan), bias di pastikan 90 % tingkat kedewasaannya lebih cepat di banding dengan orang-orang yang masih menjalani hidupnya hanya dengan “dirinya”.

So…Pernikahan dini??
Why not??!!!
Semua akan baik-baik saja, ketika semua berjalan secara proporsional.


Sabtu, 26 Juli 2008
10:02



Manusia sering terjebak oleh ambisi dan kepentingan.
Keinginan yang sering berbenturan dengan realitas, sering mengoyak idealisme palsu manusia. Idealisme tanpa dasar. Idealisme tanpa rasio. Idealisme tanpa nurani. Idealisme yang hanya sebuah simbol.

Aku ingat saat ku menginginkan banyak hal. Masa kecilku...
Merengek, menangis, bahkan pasang aksi ngambek sama orang tua, hanya karena keinginanku tak terpenuhi.
Hanya karena sebuah boneka mungil, aku rela tuk membuat air mataku mubadzir begitu saja.
Hanya karena sebuah baju baru, aku berteriak meluapkan emosi labilku.
Hanya karena sebuah sepatu pengganti sepatu bututku, akupun nekat tuk bolos sekolah.
Hahaha...
masa kecilku
Begitu manjanya, sampai begitu menjijikkan bila ku mengingatnya.

Kini...
Tentu bukan masaku seperti itu. Aku harus bisa berdiri di atas power Tuhan untukku. Aku tak mungkin menarik semua orang masuk pada arenaku. Yang mungkin saja, hanya bisa di pahami oleh seorang aku.

Hanya saja, entah apa yang membuatku sedikit illfeel dengan makhluk yang bernama idealisme. Aktor penjebak dalam kungkungan ambisi, yang banyak tidak di sadari oleh makhluk yang bernama manusia.

Ah...berjalan sajalah
ikuti jalan lurus, izinkan sang nurani menjadi navigasi
Tuhan kan ikuti...
meski sebenarnya, Dia lah yang mengerti

el-Funny
Kairo, 27 Juli 2008
16:16

Fakir cinta-Mu

Tak mudah tuk mencoba melebur dengan-Nya
Sulit...
Teramat sulit

Aku sering tertidur untuk-Nya
Namun terbangun tanpa-Nya

Aku sering meminta-Nya
Mengiri perjalanku
Hanya saja,
kebodohanku menguasaiku
Aku berjalan, terus, dan berjalan
Aku kembali lupa menengok-Nya
Dan akhirnya aku semakin jauh dari-Nya

Saat ku dapati raga utuhku
Tak sebanding dengan jiwa hampaku
Aku hanya bisa "mencoba" menangis
Karena ku memang payah!
Aku tertatih mendapatkan tulus itu
Rabbi...
Rabbi...
Futurku tak kunjung hilang
meski aku sadar, saat ku bersamaMu
Benar-benar kenikmatan tak terbayar
Rabbi...
Rabbi...
Apa yang harus budakMu ini lakukan
Kenapa aku hanya bisa "berusaha" untuk menyesal
Mana sadar itu
Lenyap, seketika

Berulang kali Kau ingatkan aku
Kau turuti semua inginku
Rabbi...
Rabbi...
Aku ingin menangis atas namaMu
Simpuhku pun tak kan cukup untukMu
Sadarkan aku
Aku kerdil
Akulah si fakir yang membutuhkanMu

Rabbi...
Aku ingin benar-benar mencintaiMu
Karena aku tahu
Kau akan lebih mencintaku

Rabbi...
tersenyumlah
untukku

Budak fakir-Mu

Aku selalu tak bisa meraba masa depan
Aku terlalu takut tuk sekedar mendongak
melihatnya
merencanakannya
apalagi membuat skenario itu

Aku tahu itu bukan kuasaku
Aku percaya dengan Sang pemilik skenario itu

Rabbi...
Aku tahu
BijakMu selalu mengiriku

prestise???...menyebalkan!!!

Ga Penting...!!!

Memang benar, seharusnya tak ada prestise dalam jabatan dan tak seharusnya ada perbedaan strata dalam kedudukan. Semua hanya tipuan karena semua hanya sebuah simbol.

Anggap saja, itu hanya sebuah sebutan untuk memudahkan kita dalam penyebutannya. Anggap saja itu hanya sebuah identitas untuk menunjukkan kita seperti apa perannya.

Tapi sekali lagi, tanpa prestise...
Ah...prestise...prestise...
Menyebalkan...
Seringkali hal itu mengecoh banyak orang.
Kenapa semua seakan melejit dengannya?. Padahal, itu bukan haga mati dari sebuah kualitas, terlebih lagi di depan-Nya. Ah...memalukan!!!

Apa coba yang bisa di banggakan dengan sebuah posisi.
its great...saat semua berjalan proporsional, saat niat itu tartata cantik untuk-Nya, dan saat semua tak ternodai dengan ambisi.

Hanya Allah yang tau...