ISLAM BER-"ETIKA"[1]
(sebuah respon atas isu radikalisme Islam dan ekspansinya)
Oleh : Maramita Elfani[2]
" Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS 2: 256)
(sebuah respon atas isu radikalisme Islam dan ekspansinya)
Oleh : Maramita Elfani[2]
" Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS 2: 256)
PROLOG
Ironis, saat kita umat Islam mendengar sebuah statement, bahwa sesuatu yang kita terima dan yakini (agama) ternyata disosialisasikan melalui sebuah anarkisme. Bahkan, Pedang, pertumpahan darah dan peperangan seakan telah menjadi identitas resmi dari pada penyebarannya.
Pada hakekatnya, Islam merupakan agama yang lembut dan tidak pernah mengajarkan tentang kekerasan. Munculnya isu-isu semacam ini ternyata tidak lepas dari peran para orientalis, sebab mayoritas dari mereka terutama yang murni bertujuan untuk menjatuhkan Islam menganggap bahwa Islam merupakan musuh besar bagi peradaban Barat. Mereka berhasil menelorkan serta menjadikan isu-isu negatif tentang Islam mengakar kuat pada pemikiran sebagian besar umat manusia. Dan tentu saja asumsi yang senada itu pun akan berimbas terhadap pemeluknya yaitu umat Islam.
Asumsi bahwa Islam adalah musuh bebuyutan bagi peradaban Barat dan disebarkan dengan pedang, secara tidak langsung telah merusak citra Islam itu sendiri. Salah seorang orientalis yang bernama Lournes Brown mengungkapkan bahwa, "Seandainya orang-orang muslim bersatu dalam satu kerajaan Arab niscaya hal itu akan menjadi sebuah laknat (siksaan / kutukan) dan ancaman bagi dunia. Namun, jika mereka tetap terpecah-pecah, maka mereka akan tersesat seketika tanpa ada atsar sedikitpun. Dan sudah seharusnya mereka tetap dalam kondisi itu demi menafikan kekuatan dan pengaruh mereka"[3]. Pernyataan ini menunjukkan bahwa sebenarnya mereka begitu takut akan pengaruh kekuatan Islam terhadap dunia. Dan ketakutan inilah yang disinyalir menjadi motif kuat mereka dalam menghadirkan isu negatif atas Islam.
Seorang orientalis dari Amerika mengatakan bahwa seandainya saja Islam dibiarkan / diberi kebebasan untuk masuk pada wilayah demokrasi, maka Islam akan mengendalikannya secara diktatorial, seperti penjagaannya terhadap masyarakat dan agamanya. Alasan mereka mengatakan Islam adalah agama yang diktator, menurut hemat penulis, hal ini disebabkan oleh banyaknya aturan-aturan yang ada dalam Islam yang didedikasikan untuk umatnya. Salah satu Contohnya adalah Islam tidak memperbolehkan pergumulan antara perempuan dan laki-laki secara bebas tanpa ada alasan dan koridor-koridor tertentu. Di satu sisi, seperti yang telah kita ketahui, budaya Barat tidak mengenal batasan-batasan seperti itu, bahkan bisa dibilang kebebasan mereka adalah "kebebasan yang bebas". Nah, dari sinilah orang-orang Barat termasuk Orientalis menganggap doktrin-doktrin yang ada dalam Islam merupakan sebuah diktasi yang mengekang.
Lalu bagaimanakah sikap kita sebagai umat Islam dalam merespon tanggapan-tanggapan negatif mereka? Benarkah Islam disebarkan melalui kekerasan? Makalah berikut akan sedikit membincang masalah-masalah di atas. Penulis sedikit membeberkan realitas historis Islam, serta motif-motif dari peristiwa peperangan antara kaum muslim dan kafir.
JIHAD; instrument cantik ekspansi Islam
Islam berasal dari bahasa Arab yang artinya "selamat". Sebuah agama yang benar di sisi Allah dan merupakan rahmatan li al-'alamin. Islam juga merupakan agama yang lembut dan mengajarkan tentang segala hal yang berbau kasih sayang. Islam tidak pernah mengajarkan tentang kekerasan, apalagi sampai menjadikannya sebagai cara untuk menyebarkannya.
Islam tidak disebarkan dengan pedang, sebab Islam mempunyai cara yang santun dalam menyampaikan ajaran-ajarannya, yaitu dengan dakwah. Bukan hanya itu, bahkan Islam pun mengatur etika-etika yang di gunakan untuk berdakwah, diantaranya dengan mau'idhah al-hasanah. Seperti firman Allah (QS An-Nahl: 125):
"serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk"
Telah jelas pesan yang terkandung dalam ayat di atas, bagaimana Islam mengharuskan kita berdakwah dengan cara yang baik, bahkan membantah lawan-lawan kita dengan cara yang baik dan bijak pula.
Dalam Islam kita mengenal "Jihad". Jihad merupakan salah satu elemen penting dalam Islam, bahkan termasuk afdhol al-a'mal setelah iman, seperti yang dijelaskan nabi dalam sebuah hadits. Islam dan jihad sangat berkait kelindan, sebab bisa dikatakan jihad adalah salah satu cara serta instrumen Islam untuk melancarkan ekspansinya
Jihad mempunyai cakupan makna yang cukup luas, serta implementasi yang berbeda-beda. Menurut imam "Ibnu Qoyyum", ada 4 tingkatan dalam jihad. pertama, jihad al-nafsi, yang termasuk dalam kategori jihad yang paling utama. Sebab, pengendalian diri menjadi sebuah sekte terpenting dalam hal ini. Bagaimana manusia harus mampu menjaga hati, perkataan serta perilakunya untuk melaksanakan syari'at Allah. Salah satu bentuk aplikasi jihad ini adalah dengan sabar. Kedua, Jihad al-syaithan. Jihad yang kedua ini bisa dilakukan dengan cara menjauhi segala bentuk kemaksiatan seperti zina, minum khamr, berbohong, ingkar janji, dll. Ketiga, jihad al-munafiqin, munafik adalah salah satu bentuk kekafiran, bahkan seburuk-buruknya kafir, sebab munafik merupakan kolaborasi antara kafir dan tipu. Jihad terhadap orang-orang munafik hendaknya tidak dilakukan dengan kekerasan atau peperangan, namun dengan menggunakan lisan, atau pun dengan menegaskan hukum-hukum yang ada. Keempat, jihad al-kufar, kafir adalah selain muslim. Jihad melawan orang-orang kafir merupakan kewajiban yang telah ditetapkan Islam dan banyak ditemukan juga ayat-ayat yang memaparkan tentang itu. Seperti dalam (QS Al Baqarah 190 dan 193) [4].
Ayat – ayat yang menjelaskan tentang jihad diturunkan secara gradual dan kondisional. Sehingga tak heran jika kita menemukan jihad dalam Islam terbagi menjadi beberapa "marhalah". Pertama adalah masa sebelum hijrah yang disebut juga "marhalah I'lan al-dakwah", dimana pada saat itu konstruk jihad yang dipakai oleh kaum muslimin berbentuk hujjah, burhan, mau'idhoh al-hasanah dan juga kesabaran dalam menghadapi hinaan orang-orang kafir. Kemudian pada marhalah yang kedua, kaum muslimin baru mendapatkan izin dari Allah untuk berperang yang disebabkan oleh kedholiman yang terjadi pada rasul dan sahabatnya. Saat itulah turun ayat أذن للذين يقاتلون بأنهم ظلموا [5], yang merupakan ayat pertama tentang perang. Pada marhalah berikutnya, yakni ketiga, turun ayat و قاتلوا في سبيل الله االذين يقاتلونكم و لا تعتدوا، ان الله لا يحب المعتدين [6]. Meski sebenarnya pada marhalah ke dua Allah telah memberikan "lampu hijau" bagi kaum muslimin untuk berperang (tentunya dengan beberapa ketentuan tertentu), ternyata mereka masih merasa enggan untuk bertindak demikian. Saat marhalah kedua itupun Nabi sementara masih melarangnya. Jika hanya sebatas "izin", maka hal itu belum cukup bagi mereka, sebab mereka menginginkan "perintah" dalam mengambil tindakan tersebut. Adapun sebab keengganan mereka adalah, karena sebagian dari musuh-musuh Islam ada yang baru saja masuk agama Islam, lemah, tidak ikut memusuhi Islam serta adanya hubungan kekerabatan yang erat antara kedua belah pihak. Itulah sebabnya Allah menggunakan fi'il 'amr dalam ayat di atas. Allah juga memberikan takhosus di sana, yaitu bagi orang yang membunuh kaum muslim saja. Karena begitu syadid nya perlawanan orang-orang muyrik terhadap Islam, akhirnya pada dekade yang terakhir ini Allah memerintahkan untuk memerangi seluruh orang musyrik secara umum وقاتلوا المشركين كافة كما يقاتلونكم كافة [7].
Orientalis; seorang interpreter yang teledor
Berbicara mengenai alasan serta motif orang-orang Barat termasuk orientalis dalam menghembuskan tuduhan-tuduhan terhadap Islam, yang diantaranya; Islam adalah agama yang radikal, Islam disebarkan dengan menggunakan pedang, dll. Tentu kita akan berfikir, bagaimana bisa pemikiran seperti itu mengakar kuat pada mereka bahkan bisa menggaung dengan hebatnya!.
Penulis pribadi berfikir, sebenarnya bukan tanpa alasan mereka mengemukakan pendapat semacam ini. Seperti apa yang telah diungkapkan oleh Dr. Nabil Luke, bahwa mereka takut terhadap Islam. Dengan mendominasinya Islam di dunia, maka tentu saja akan melumpuhkan kekuasaan dan kekuatan mereka. Sehingga kebencian mereka terhadap Islam seakan menjadi sebuah keniscayaan. Sebagian besar dari mereka berkaca pada sejarah awal munculnya agama Islam. Namun yang sangat disayangkan, mereka hanya melihat dengan sebelah mata
Menurut Yusuf Qardhawi, saat ini banyak terjadi kesalahan atau lebih tepatnya penyelewengan interpretasi atas sejarah Islam yang di lakukan oleh sebagian besar orientalis. Ketika para orientalis membahas seputar sejarah Islam, pada umumnya mereka lebih sering menyajikan manipulasi cerita. Misalnya, yang berkaitan dengan nabi Muhammad Saw serta agamanya (Islam). Mereka mengatakan bahwa Muhammad bukanlah seorang nabi, Islam bukanlah din Allah, dan para sahabat tidak lain hanyalah kelompok besar yang fasik[8]. Dalam pandangan mereka, tidak ada agama selain Yahudi dan Nasrani, selain itu tidak ada pula peradaban kecuali peradaban Barat. Salah satu diantara orientalis tersebut adalah Ignas Goldziher[9] yang mengamini pendapat Qodiyaniah tentang kenabian Ghulam Ahmad dan pengingkarannya atas khotmu al-nubuwwah.
Pun dalam masalah penyebarannya. Orientalis tak tinggal diam, selayaknya interpretor handal, mereka menguak bagaimana kisah-kisah bermulanya Islam, padahal disatu sisi mereka mencoba tuk meng"ada"kan sebuah distorsi didalamnya. Banyaknya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam penyebaran Islam pada masa nabi dan khulafaur rasyidin seperti; perang badr, perang uhud, perang khandak, dan sebagainya. Dijadikan sebagai pijakan sejarah untuk melegitimasi pendapat mereka bahwa Islam merupakan agama yang yang disebarkan melalui peperangan.
Statement seperti ini semakin memanas baru-baru ini, terutama setelah terjadinya peristiwa 11 September 2001, yaitu runtuhnya 2 menara kembar (WTC dan Pentagon) di New York, Amerika, dimana saat itu Islam dijadikan sebagai kambing hitam untuk menjadi tersangka utama pada peristiwa ini. Sehingga statement "Islam adalah agama anarkis" seakan tak terbantahkan. Bahkan Paus Benekditus XVI turut mengamini hal ini dalam pidatonya yang sempat menuai banyak kecaman dari para pemuka Islam serta umat Islam yang lain sebagai aksi protes dari perbuatannya itu.
Sebenarnya…Islam sangat ber "etika".
Benarkah Islam disebarkan dengan pedang?
Penulis pribadi tidak sependapat dengan pernyataan tersebut. Sebab, penyebaran Islam adalah melalui dakwah. Dan sekali lagi Islam sangat ber "etika". Berikut penulis paparkan beberapa argumentasi historis seperti yang di ungkapkan oleh Rosihon Anwar [10]dalam makalahnya yang bertajuk "Islam dan jalan pedang":
Pertama, ketika berada di Makkah, nabi melakukan dakwahnya dengan cara sirriyah atau 'sembunyi-sembunyi' selama tiga tahun, sebelum akhirnya beliau mulai berani melakukannya secara terang-terangan. Dan pada saat itu nabi tidak disertai dengan senjata maupun pasukan bersenjata. Meski demikian, ternyata banyak pemuka agama yang masuk Islam. Seperti Abu Bakar, Utsman, Sa'ad ibn Waqqas, Zubair, Talhah, Umar ibn Khattab, dan Hamzah.
Kedua,pada saat nabi berada pada tekanan kafir Quraish, banyak dari orang Madinah yang masuk Islam bahkan menyambut nabi saat hijrah ke Madinah. Adakah Islam tersebar dengan pedang di Madinah?!.
Ketiga, pasukan Salib datang ke Timur ketika khalifah Bani Abbas justru berada dalam masa kemunduran. Tanpa diduga ternyata jumlah pasukan Salib yang bergabung dengan pasukan Salib yang lainnya untuk kemudian masuk Islam sangat besar. Thomas Arnold dalam al-dakwah ila Al-Islam, menyebutkan alasan mereka adalah karena melihat kepahlawanan dan kepiawaian Salahuddin sebagai cerminan ajaran Islam
Keempat, dalam sejarah, masa damai ketika diadakan perjanjian Hudaibiyah selama dua tahun merupakan masa yang terpenting. Sebab, menurut para sejarawan, orang-orang yang masuk Islam pada saat itu terbilang lebih banyak dari pada sesudahnya. Hal ini membuktikan bahwa Islam tidak disebarkan dengan peperangan melainkan dengan jalan damai[11].
Demikian beberapa catatan historis sebagai "respon" terhadap berbagai argumentasi "miring" tentang Islam yang telah berkembang.
Meski Islam disebarkan dengan dakwah, atau dengan kata lain menegasikan radikalisme, namun disatu sisi sebenarnya Islam tidak pernah menafikan adanya unsur perang disana. Bagaimanapun kita mendapati realita historis yang berbicara tentang itu. Kendati demikian, tidak sepatutnya kita memberikan interpretasi instan tanpa tahu apa motif di balik itu semua.
Islam tidak akan "ceroboh" merekomendasikan tindakan yang cukup radikal ini kepada kaum muslim. Pasalnya, Islam bersandar pada motif kuat yang sebenarnya berangkat dari orang-orang kafir itu sendiri. Diantaranya adalah sebagai upaya mempertahankan diri. Sebagai salah satu bukti, ketika ekspansi Islam masih sampai pada Habsy (kota kecil tidak seberapa jauh dari Jazirah Arab dan pernah menjadi kota tujuan hijrah nabi sebelum Madinah), Islam tidak memerangi mereka, sebab tidak ada kekhawatiran atas keselamatan umat Islam saat itu. Padahal pada saat itu Islam sudah mempunyai angkatan laut yang kuat, sehingga seandainya Islam melakukan ekspansinya dengan jalan peperangan, mungkin dalam sekejab saja kota itu sudah musnah. Motif perang yang lain adalah, melindungi dakwah serta orang-orang lemah yang ingin masuk Islam. Kemudian yang terakhir adalah untuk melindungi Islam dari serangan orang-orang Persia dan Romawi. Islam dianggap sebagai sebuah ancaman oleh dua adikuasa (saat itu) tersebut karena mampu merangkul kabilah-kabilah Arab dalam naungan bendera Islam. Pada tahun 627, seorang gubernur Romawi di Amman, Farwah bin Umar Al Judzami memeluk agama Islam. Beliau mengutus Mas'ud bin Sa'ad Al Judzami untuk menyampaikan sebuah hadiah kepada nabi. Tidak di sangka, ketika berita itu sampai di telinga 49 orang Romawi, mereka memaksanya untuk menanggalkan keislamannya. Namun, paksaan itu di tolaknya, dan akhirnya dia dipenjara dan disalib. Pada tahun 629, nabi mengutus satu kelompok dengan jumlah 15 orang ke perbatasan timur Ardan untuk berdakwah. Ternyata mereka pun dibunuh atas perintah penguasa Romawi. Berangkat dari sini, inisiatif memerangi mereka pun muncul, sebab bagaimana panji Islam akan bisa berdiri tegak, jika dalam perjalanannya saja selalu "tergilas" sebelum sampai pada gerbangnya.
Adapun jika mereka menganggap motif utama Islam berperang adalah untuk memaksa umat memasuki agama Islam. Sesungguhnya dengan gamblang Allah telah menyampaikan pesan-Nya dalam Al Quran (QS Al-Baqarah : 256), "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
Dan yang lebih menarik, demi menegaskan pendapatnya bahwa Islam tidak disebarkan dengan jalan perang, Nabil Luke[12] dalam bukunya intisyar al-Islam bi haddi al-syaif baina al-haqiqoh wa al-iftiro' tidak mau menyebutkan kata "ghazwah" dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi antara kaum muslim dengan kafir seperti; perang badr, perang uhud, perang khandak dll. Beliau mengartikan kata "Ghazwah" dengan makna; serangan, invasi atau peperangan. Yang mana hal itu tidak terjadi dalam Islam, sebab menurut beliau esensi dari tindakan yang di ambil oleh Islam bukanlah "serangan" atau "menyerang". Sebaliknya, sikap mereka adalah upaya pertahanan dan perlawanan sebagai serangan balik bagi musuh-musuh Islam. Oleh karena itu, dalam penyebutannya beliau justru lebih memilih untuk menggunakan istilah "mauqi'ah" yang berarti "peristiwa".
Dewasa ini jamak kita dapati berbagai event anarkisme yang meng-atas namakan Islam. Dan yang sangat disayangkan, mayoritas lakon utamanya berasal dari Islam. Bahkan atas dasar inilah pencetus ide negatif tentang Islam semakin "melantangkan" suaranya. Lalu apakah hal ini mengindikasikan nafas radikalisme memang bagian dari Islam?. Tentu saja tidak, dalam konteks ini hendaknya kita bisa membedakan antara Islam dengan orang Islam. Ketika ada tindakan nyeleneh dari penganut agama Islam, kita tidak boleh menembak Islam begitu saja sebagai pangkal masalahnya. Justru sebaliknya, para pemeluk Islam sendirilah yang harus di pertanyakan.
KONKLUSI
Islam adalah agama rahmatan li al-'alamin, tidak ada doktrin Islam yang beresensi radikalisme. Oleh karena itu, dari sedikit uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa statemen Islam disebarkan dengan pedang tidak lain hanyalah sebuah stigma "buatan" yang ditelorkan oleh Barat guna menghancurkan Islam. Selain itu, tidak ada realitas historis yang dapat menjustifikasi argumentasi-argumentasi mereka, sebab seperti yang kita ketahui, Islam memiliki instrumen cantik untuk mensosialisasikan ajaran-ajarannya yakni melalui jihad.
Islam juga tidak menafikan adanya perang dalam perjuangan menyebarkan doktrinnya, namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa tindakan Islam tersebut tidak terlepas dari motif-motif rasional yang bisa di katakan sebagai sebuah "kewajaran" untuk dilakukan. Demikianlah sepercik kalam yang bisa penulis sampaikan dalam makalah ini. Semoga dari sini bisa menjadi starting point bagi kita untuk bisa mengambil ibrah serta lebih mengenal bagaimana Islam yang sebenarnya. Wallahu a'lam.
BIBLIOGRAFI
1. Qardhawi, Yusuf. Tarikhuna. Kairo: Dar al Syuruf, 2005. cet. Ke-1.
2. Luke, Nabil. Intisyar al-Islam Bihaddi al-saif baina al-haqiqah wa al-Iftira'. Kairo: Dar al Babawy, t.t
3. Adlwa' 'ala al-Nudhum al-Islamiyah. Lajnah min qismi al-dakwah wa al-tsaqafiyah al-Islamiyah, tingkat II.
4. Tayarot al-fikriyah. Lajnah min qismi al-aqidah wa al-falsafah, tingkat II.
5. Artikel Rosihon Anwar, Islam dan jalan pedang. REPUBLIKA, Rabu, 20 September 2006.
6. A Partanto, Pius dan Al Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Kontemporer. Surabaya: ARKOLA, t.t
7. Terjemah Al Quran, Al-jumunatul-ali. CV Penerbit J-ART.
"Blue Room" of Rumah lorong
02 Maret 2007
[1] Makalah (Edisi Perdana Penulis) ini di presentasikan dalam Kajian Lepas Gamajatim, 03 Maret 2007.
[2] Seorang "Pemula" yang beridentitas sebagai Mahasiswi Ushuluddin Tingkat II
[3] Nabil Luke Babawy, Intsyar al- Islam Bi haddi al-saif baina al-haqiqoh wa al-iftira'……………….???.
Lajnah min qism al-dakwah wa al-tsaqofiyah al-Islamiyah, Adlwa' 'ala al-Nudhum al-Islamiyah, tingkat dua, hlm 328. [4]
[5] Surat Al-Hajj ayat 39.
6 Surat Al-Baqarah ayat 190.
[7] Surat Al-Taubah ayat 26.
[8] Yusuf al-Qardhawi, Tarikhuna ……cet. 1, 2005 M, hlm 282
9.Ignas Goldziher adalah orientalis Yahudi kelahiran Hungaria.
Rosihon Anwar adalah seorang Dosen Pascasarjana dan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. [10]
[11] Artikel Rosihon Anwar yang berjudul Islam dan jalan Pedang, Harian REPUBLIKA, rabu, 20 September 2006.
[12] Nabil Luke adalah seorang Kristen ortodoks yang tinggal di Mesir dan belajar Islam, dan saat ini sedang mempersiapkan program doktoralnya dalam Syari'at Islam.
0 comments:
Post a Comment